Bobo.id - Pada materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, kita akan belajar tentang isi Mukadimah. Apa itu?
Mukadimah adalah nama lain dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pendiri bangsa yang tergabung dalam Panitia Sembilan.
Panitia kecil ini dibentuk setelah melewati sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Saat itu, sidang pertama BPUPKI tidak berhasil mencapai kesepakatan rumusan dasar negara sehingga dibentuklah Panitia Sembilan.
Anggota Panitia Sembilan yang ikut merumuskan dasar negara yang kini kita kenal dengan nama Pancasila, antara lain:
Namun, dalam Mukadimah ini terdapat potongan kalimat penting dan cukup kontroversial yang dikenal dengan 'tujuh kata'.
Sila pertama yang kontroversial itu berbunyi, 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'.
Lalu, apa pandangan para pendiri bangsa terkait isi Mukadimah terutama frasa Ketuhanan itu? Cari tahu bersama, yuk!
Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang dibuat Panitia Sembilan dan disahkan pada tanggal 22 Juni 1945.
Nama 'Piagam Jakarta' sendiri diusulkan oleh Mohammad Yamin pada tanggal 10 Juli atau pada Sidang BPUPKI kedua.
Baca Juga: Perbedaan Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945
Dilansir dari Kompas.com, Piagam Jakarta ini berisi gabungan pendapat antara golongan nasionalis dan golongan Islam.
Isi dari Piagam Jakarta terdiri dari empat alinea. Di alinea keempat tertulis lima sila sebagai dasar negara Indonesia, yakni:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan Mukadimah yang dibacakan Soekarno mendapat komentar dari para pendiri bangsa yang hadir Sidang Kedua BPUPKI.
Isi Mukadimah yang jadi sorotan adalah frasa, 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya'.
Salah satu tokoh yang menyatakan keberatannya terhadap frasa Ketuhanan itu adalah Latuharhary, Gubernur Maluku.
Beliau mewakili masyarakat timur Indonesia menilai frasa itu bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat.
Baca Juga: Mengenal Tujuan Dibuatnya Piagam Jakarta dan Isinya, Materi PPKn
Menanggapi itu, Agus Salim menjawab kalau pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan sudah selesai.
Ketua Sidang Dr. Radjiman Wedyoningrat juga memberi tanggapan kalau itu adalah hasil jerih payah golongan Islam dan kebangsaan.
Jadi, apabila kalimat 'tujuh kata' itu tidak dimasukkan, maka tidak bisa diterima oleh golongan atau kaum Islam.
Wongsonegoro dan Djajadiningrat berkomentar kalau frasa itu bisa menimbulkan fanatisme karena seolah memaksa menjalankan syariat Islam.
Pada akhirnya, anggota sidang menerima dengan suara bulat Mukadimah atau yang kemudian disebut Piagam Jakarta.
Meski telah disepakati, frasa Ketuhanan terbukti masih jadi masalah setelah Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.
Rakyat Krsiten di wilayah Indonesia Timur menolak bergabung Republik Indonesia apabila syariat Islam masuk UUD.
Menanggapi hal itu, Moh. Hatta mengumpulkan wakil golongan Islam untuk membicarakan hal-hal tersebut.
Dalam pembicaraan informal, akhirnya disepakati bahwa frasa Ketuhanan itu diganti dengan 'Ketuhanan yang Maha Esa'.
Yap, para pendiri bangsa melakukan penggantian ini karena mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Nah, itulah pandangan para pendiri bangsa terkait isi mukadimah frasa Ketuhanan. Semoga informasi ini bisa bermanfaat, ya.
Baca Juga: Apa Hubungan antara Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945?
----
Kuis! |
Apa yang dimaksud dengan Mukadimah? |
Petunjuk: cek di halaman 1! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Fransiska Viola Gina |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR