Tengkleng merupakan masakan khas Solo. Makanan ini mirip dengan gulai, tetapi memiliki kuah lebih encer, berisi tulang kambing dengan sedikit daging yang menempel.
Semua Tulang
Pada zaman dulu tengkleng adalah makanan rakyat miskin yang tidak mampu menikmati olahan daging kambing, misalnya sate atau gule. Tengkleng adalah masakan yang diolah dari tulang dan kepala kambing yang tidak bisa dimasak menjadi sate atau gule.
Keunikan Tengkleng
Perjuangan memakan sisa daging dan kuah di tulang-tulang tengkleng menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Menemukan sedikit daging yang menempel di tulang kambing pada masakan tengkleng ini rasanya seperti mendapatkan hadiah.
Para pengunjung juga bisa memilih bagian-bagian tertentu, seperti tulang iga, kaki, mata, kuping, lidah, pipi, sumsum, otak, dan lain-lain. Bagi sebagian orang yang tak terbiasa, memakan bagian-bagian tersebut agak menyeramkan, akan tetapi itulah tengkleng.
Warung Tengkleng
Salah satu warung yang khusus menawarkan menu tengkleng di Solo adalah warung tengkleng Bu Edi. Warung tengkleng Bu Edi terletak di antara Masjid Agung dan Pasar Klewer.
Usaha makanan tengkleng dimulai sekitar 1971 oleh nenek Bu Edi, dimulai dengan berdagang keliling di Pasar Klewer. Nenek Bu Edi menggendong wadah tengkleng dan menjualnya secara berkeliling sekitar lima tahun.
Lalu sekitar tahun 1980, nenek Bu Edi memilih menetap di lokasi yang menjadi warung tengkleng Bu Edi sekarang. Warung tengkleng bu Edi buka mulai dari pukul 14.00 WIB.
Dalam sehari mereka menyediakan sekitar 300 porsi. Keunikannya adalah penyajian tengkleng di atas pincuk (wadah makan dari daun pisang).
Warung ini terletak di utara gapura Pasar Klewer. Tidak ada papan nama atau sepanduk sebagai penanda. Hanya disediakan satu meja ukuran sedang dan dua bangku panjang untuk pengunjung.
Kebanyakan pengunjung yang membeli tengkleng memilih untuk membungkus tengklengBu Edi untuk dibawa pulang. Ada juga pengunjung yang berdiri maupun duduk di bangku tanpa meja sambil membawa sebuah pincuk.
Kalau kamu ke Solo, coba saja mencicipi tengkleng ini.
Penulis | : | Dewi Setyawan |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR