Winona seorang gadis yatim piatu. Dia bekerja di sebuah gedung opera ternama sebagai penjahit kostum. Hampir lima tahun dia bekerja di sana, menjahit gaun-gaun Edwina, primadona panggung yang terkenal. Setiap kali Edwina pentas, gedung opera akan penuh sesak dijejali penonton. Tiket pun ludes terjual.
Di atas panggung, Edwina tampil mempesona. Gaun-gaunnya yang bersulam payet dan benang emas tampak gemerlap ditimpa sinar lighting. Kepandaian Winona merancang dan menjahit kostum membuat tubuh Edwina yang gemuk jadi tampak ramping. Edwina selalu cerewet mengenai kostumnya. Dia ingin terlihat lebih kurus dari ukuran tubuh aslinya. Kadang Winona terpaksa harus membuatkan korset yang sangat ketat agar Edwina tampil sempurna.
Diam-diam Winona sering mengintip Edwina berlatih vokal. Dia selalu menonton pertunjukan Edwina dari belakang panggung. Di tengah malam, saat lampu gedung opera dipadamkan, Winona menyalakan sebatang lilin untuk menerangi ruang kostum. Biasanya seusai pertunjukan, banyak kostum rusak atau lepas jahitan yang harus segera diperbaiki. Winona mengerjakannya dengan senang hati. Sambil menyulam bagian kostum yang koyak, dia akan bernyanyi dengan suara sopran yang mengalun lembut dan melengking tinggi. Ternyata Winona pandai bernyanyi! Selama lima tahun bekerja di gedung opera, dia sering mempelajari lagu-lagu yang biasa dibawakan Edwina.
Menjelang akhir tahun, gedung opera selalu mementaskan pertunjukan tahunan. Pertunjukan itu merupakan pertunjukan paling akbar sepanjang tahun. Walikota dan para pembesar istana akan datang sebagai tamu kehormatan. Hampir setiap hari para aktor dan aktris sibuk berlatih. Para kru yang mengurusi set lampu dan dekorasi juga sibuk mengatur panggung. Winona pun mendapat tugas berat. Dia merancang dan menjahit gaun terindah untuk Edwina. Gaun itu dibuat dari kain sutera cina yang mahal harganya, lalu disulam dengan manik-manik permata dan mutiara.
Winona menjahit gaun itu siang dan malam. Waktu untuk menyelesaikan gaun tinggal sebentar lagi. Pertunjukan akan dimulai esok hari. Karena kelelahan, dia tertidur di ruang kostum. Lilin yang digunakan untuk menerangi ruangan tiba-tiba tersenggol tangannya. Lilin itu jatuh di atas gaun yang sedang disulamnya. Winona tersentak dari kantuknya. Dia gelagapan sambil berusaha memadamkan api yang merambat naik membakar ujung gaun. Winona kebingungan, wajahnya pucat seketika! Kalau sampai Edwina tahu…. ugh, dia tak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi!
Dalam kegelapan malam, Winona yang ketakutan segera berlari ke luar gedung opera. Lalu dia bersembunyi di bawah jembatan kota. Di tepi sungai dia menangis. Air matanya jatuh ke tepian. Karena kesedihannya dia bersenandung lirih. Suaranya jernih bergema, menarik perhatian seorang gelandangan perempuan yang meringkuk di pojok jembatan.
“Kenapa bersedih, Nona?”
Winona terperanjat. Dia menatap si gelandangan curiga. Jangan-jangan orang ini bermaksud merampoknya! Ah, tapi apa yang kumiliki sekarang, selain selembar gaun sutera yang terbakar? Pikir Winona.
“Bulan bersinar cerah. Menerangi malam gulita. Saat yang tepat untuk bersuka. Bukan untuk bermuram durja…” Gelandangan tua bersenandung. Suaranya sebening denting kristal.
Winona terpana, hatinya terhibur. Bahkan Edwina pun tak pernah bernyanyi semerdu itu! Winona mengadukan masalahnya. Dia mengakhiri ceritanya sambil mendesah putus asa. “Aku akan lari. Bersembunyi. Aku tak akan kembali ke gedung opera itu lagi.”
“Hei, Nona, kau kira lari dari kenyataan akan memecahkan persolan? Kau bisa saja bersembunyi, tapi rasa bersalah akan terus menghantui. Hadapi masalahmu. Biarkan nasib menentukan. Yang penting kau telah berkata jujur dan terus terang.”
Winona terdiam. Betul juga kata perempuan itu. Dia harus kembali dan mengakui kesalahannya walau seberat apa pun resiko yang harus dihadapi. Mungkin dia akan dipecat atau dihukum, tapi ganjaran itu pantas ditanggung akibat keteledorannya.
Akhirnya Winona memutuskan untuk kembali ke gedung opera saat matahari mulai tinggi. Setibanya di sana, seluruh kru sedang kalang kabut. Edwina terserang radang tenggorokan. Suaranya sama sekali hilang! Winona memberanikan diri mencari Edwina. Dia menemukan bintang panggung itu terpuruk murung di pojok kamar rias. Winona tepekur. Celaka, masalah kostum saja belum selesai, sudah ada masalah lain! Tapi… ah, ya, Winona menjentikkan jari-jarinya. Dia punya ide!
“Saya bersedia bernyanyi untukmu, Nona Edwina! Kau tinggal berakting di panggung, biarkan saya mengisi suaramu dari belakang panggung. Saya hafal lagu-lagu yang harus kau nyanyikan!”
Edwina bimbang. Mana mungkin gadis pembuat kostum sanggup bernyanyi semerdu suaranya. Tapi karena tak ada jalan keluar lain, Edwina menyetujui. Sebagai balasannya, dia memaafkan kecerobohan Winona dan mengganti kostum yang terbakar tersebut dengan gaun terbarunya yang tak kalah indah.
Pertunjukan berjalan sukses, penonton pun terpukau dengan suara Edwina yang lebih merdu dari biasanya. Mereka sama sekali tak tahu kalau suara itu adalah suara Winona. Sutradara opera yang mengetahui kejadian ini segera memanggil Winona keesokan hari. Kebetulan dia sedang mencari aktris untuk lakon terbarunya. Besok Winona mulai berlatih dan mendapatkan peran.
Winona sangat bersyukur. Keputusannya untuk kembali dan menyelesaikan persoalan justru membawa keberuntungan. Tapi dia segera ingat. Semua ini takkan terjadi tanpa saran bijaksana gelandangan perempuan yang tinggal di kolong jembatan. Dia segera mencari gelandangan itu. Tapi berhari-hari dia mendatangi jembatan batu yang membelah kota, tak juga ditemuinya perempuan itu di sana. Winona nyaris putus asa. Ditanyanya seorang polisi kota yang sedang melintas.
“Apa anda tak melihat seorang perempuan tua yang tinggal di bawah jembatan?”
“Tak ada seorang pun yang tinggal di kolong jembatan. Dulu memang ada seorang perempuan yang hidup di bawah jembatan ini. Tapi dia bukan gelandangan biasa. Dia Claudia Ross, seorang aktris terkenal yang sering pentas di Goldvick Theatre, gedung opera ternama itu. Sejak kematian anak tunggalnya, dia jadi hilang ingatan. Lalu dia hidup menggelandang di bawah jembatan. Sepuluh tahun lalu dia tenggelam terseret arus sungai!” kata polisi kota menjelaskan panjang lebar.
Winona terhenyak. Suara gemericik air sungai mengalun seindah suara gelandangan perempuan tua.
Hingga bertahun-tahun kemudian, suara sopran gelandangan perempuan itu selalu terngiang. Winona tak pernah melupakannya. Karena itu dia berlatih keras agar dapat bernyanyi semerdu Claudia Ross. Berkat kerja kerasnya, Winona menjadi seorang penyanyi opera yang termashyur hingga ke seluruh penjuru negeri.
(Cerita: Dwi Pujiastuti / Dok. Majalah Bobo)
4 Resep Aneka Sayur Ketupat untuk Menu Lebaran, Ada Ketupat Padang hingga Ketupat Kandangan
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR