Alhajir adalah pasar yang ramai di tengah kota. Banyak pedagang yang berjualan di sana. Di antaranya Tuan Dakhir yang menjajakan buah-buahan. Namun sayangnya, kedai buah Tuan Dakhir selalu sepi. Jarang dikunjungi pembeli. Sebab Tuan Dakhir dan istrinya sering melayani pembeli dengan kasar.
“Mana ada harga kurma semurah itu?” cibir Tuan Dakhir ketika ada pengunjung yang menawar.
“Jangan bandingkan dengan kedai lain, dong! Kalau begitu beli saja di kedai lain!” timpal sang isteri.
Suatu hari di siang terik, datanglah seorang bocah pengemis ke kedai Tuan Dakhir yang sepi. Tuan dan Nyonya Dakhir menghardik, “Kedai kami tidak melayani sumbangan! Pergilah jauh-jauh!”
“Maaf Tuan, Nyonya, saya tak bermaksud mengemis.”
“Lantas apa maumu?”
“Saya cuma mau meminta maaf,”
“Untuk apa?”
“Begini, Tuan, Nyonya,” pengemis kecil mulai bercerita. “Kemarin gerobak buah Tuan dan Nyonya melintas di depan saya. Tanpa sengaja saya melihat sebutir apel jatuh dari gerobak buah itu. Karena perut saya sangat lapar, saya pungut apel tersebut. Lalu saya makan. Tetapi malamnya saya tak bisa tidur. Saya merasa bersalah karena telah memakan makanan yang bukan menjadi hak saya. Saya ingin sekali membayar apel itu, tetapi saya tak punya uang sepeser pun!”
“Enak saja, kau harus membayarnya!” sungut Tuan Dakhir.
Sebentar bocah pengemis itu berpikir, “Baiklah, akan saya bayar apel itu dengan senyuman,”
“Dengan senyuman? Apa kau sudah gila? Mana mungkin sebutir apel yang mahal dibayar dengan senyuman? Sudah sana, pergilah!” marah Nyonya Dakhir.
Bocah pengemis itu tetap pada pendiriannya. Dia bersikeras hendak membayar apel tersebut. Akhirnya Tuan dan Nyonya Dakhir membiarkan anak itu duduk di sudut kios. Dia tersenyum ramah pada semua pengunjung yang melintas.
“Kenapa kau tersenyum, Nak?” tanya seorang ibu heran.
“Aku sedang menikmati hari yang cerah ini, Nyonya. Melihat matahari bersinar, pasar yang ramai, dan buah-buahan segar yang mengundang selera.”
Wanita itu tertegun. Kemudian menatap buah-buahan yang terpajang di kedai buah Tuan Dakhir.
“Hmm… betul juga, ya. Di siang terik seperti ini memang enak menyantap buah-buahan!” si Nyonya pun akhirnya membeli apel dan pir.
Bebarapa saat kemudian, kedai Tuan Dakhir ramai dikunjungi pembeli. Mereka tertarik pada senyum si bocah pengemis, lalu tak lupa membeli sekantung buah-buahan. Dagangan Tuan Dakhir pun laris. Tuan dan Nyonya Dakhir merasa heran.
Menjelang sore, Tuan dan Nyonya Dakhir bersiap menutup kiosnya. Si bocah pengemis pun siap berkemas pulang.
“Hei, tunggu!” tegur Tuan Dakhir.
“Ini sebutir apel untukmu, untuk membayar senyummu yang telah membuat daganganku laku!”
“Oh, tidak usah, Tuan! Apel itu akan habis kumakan. Karena itu, bayar saja dengan senyuman!” ujar si bocah pengemis sambil berlalu. Tuan dan Nyonya Dakhir saling berpandangan.
Sejak saat itu bocah pengemis tak pernah lagi menampakkan diri. Padahal Tuan dan Nyonya Dakhir merasa berhutang budi, mereka ingin sekali berterima kasih. Tetapi mereka selalu teringat pesan si bocah, “Bayar saja dengan senyuman!”
Akhirnya kini Tuan dan Nyonya Dakhir selalu tersenyum tulus dan ramah pada siapa saja. Kini kedainya banyak dikunjungi pembeli karena keramahan mereka.
(Cerita: Dwi Pujiastuti / Arsip Bobo)
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR