Amos adalah putra pedagang tekstil. Ayahnya membuka toko di pasar dibantu tiga orang pegawai. Pemuda Amos sangat gemar membaca. Sering ia pergi ke perpustakaan dan membaca. Bahkan di rumahnya pun ada koleksi buku. Kegemaran Amos lainnya adalah mengundang makan anak-anak panti asuhan dan mengajak mereka membaca buku di rumahnya. la juga menyediakan banyak buku bacaan anak-anak.
Suatu ketika ayah Amos meninggal. Setelah pemakaman selesai, esok harinya Amos pergi ke toko ayahnya. Karena anak tunggal, ia harus mengurus toko ayahnya. Amos sangat terkejut ketika melihat beberapa orang sedang berbicara serius dengan karyawan ayahnya.
"Itu Bapak Amos sudah datang. Bapak bicara saja langsung kepadanya," kata karyawan ayahnya.
Ternyata orang-orang itu adalah penjual-penjual tekstil. Mereka mau menagih pembayaran tekstil yang mereka sudah kirim. Amos memeriksa faktur. Ternyata pembayarannya belum jatuh tempo. Ada faktur-faktur yang baru dua minggu lagi perlu dibayar, satu bulan, bahkan ada yang baru enam minggu lagi baru jatuh tempo. Amos mengemukakan hal itu pada mereka.
"Bayar saja sekarang. Kalau ayahmu kami percaya. Kamu tak pernah membantu di toko. Kami ragu-ragu apakah kamu pandai berdagang atau tidak," kata para pedagang itu.
Amos terdiam. la baru kehilangan ayah, kini ia akan kehilangan usaha ayahnya yang sudah dikelola puluhan tahun lamanya. Tak ada gunanya berdagang dengan orang-orang yang tidak memercayainya. Amos juga terpukul karena dinilai tidak mampu.
"Baiklah, tuan-tuan boleh mengambil kembali barang-barang yang tuan-tuan kirim. Bila ada yang laku sebagian, aku akan membayarnya," Amos mengambil keputusan.
Ketiga pegawainya sibuk bekerja. Tiga hari kemudian urusan sudah diselesaikan. Hanya tinggal beberapa gulung tekstil di toko. Amos menyuruh jual obral gulungan tekstil itu, lalu memberi pesangon pada tiga orang karyawannya. Sesudah itu Amos mengunci toko yang kosong. Di rumah ia berpikir keras. Ternyata uang yang ada di bank pun tinggal sedikit.
Dalam hati Amos heran. Masakan ayahnya berdagang puluhan tahun dan tidak bisa mengumpulkan harta? Namun, ia juga tidak merasa benar-benar yakin bahwa ayahnya menyimpan uang di suatu tempat, karena selama ini ia memang tidak melibatkan diri dalam usaha ayahnya.
Seorang sahabat dekat ayahnya, Akhan, datang mengunjunginya. Ia sering bermain catur dan bercakap-cakap dengan ayah Amos ketika beliau masih hidup. Amos juga mengemukakan keheranannya karena uang di bank yang disimpan ayahnya ternyata sangat sedikit.
"Amos, kalau kamu ingin berdagang aku akan meminjamkan modal!" kata Akhan.
"Terima kasih, Paman Akhan, saya akan berpikir dulu!" kata Amos.
"Kalau tidak berdagang, kamu akan mencari nafkah dengan jalan apa?" tanya Akhan.
"Mungkin saya akan mengajar!" jawab Amos.
Sore hari Amos didatangi beberapa sahabat kecilnya. Seperti biasa Amos menjamu mereka dan mereka membaca buku di perpustakaan pribadi Amos.
"Mungkin nanti aku tak bisa menjamu kalian lagi!" kata Amos, lalu menghela napas. Amos menceritakan tentang toko ayahnya yang sudah ditutup dan rencananya untuk mencari nafkah. Juga tentang Paman Akhan yang bersedia meminjamkan modal.
"Rekan-rekan dagang ayahku tidak percaya aku mampu berdagang tekstil. Mungkin memang aku tidak pandai berdagang!" kata Amos.
"Tidak, Kak Amos. Kakak pandai, banyak membaca dan baik hati. Kakak bisa berdagang apa yang Kakak inginkan. Bahkan modal pun sudah tersedia. Untuk apa buku sedemikian banyak kalau isinya tak ada faedahnya bagi hidup Kakak?" kata salah seorang anak-anak itu.
Anak-anak lain pun menyatakan keyakinannya bahwa Amos bisa berhasil. Semangat Amos bangkit. Ia berpikir keras dan akhirnya memutuskan memulai usaha yang belum pernah dilakukan orang di negerinya. Tapi dari majalah-majalah dan buku-buku dari luar negeri ia tahu bahwa usaha ini mempunyai peluang yang baik.
Amos membuka toko buah-buahan. Ada buah-buahan dalam negeri dan juga dari luar negeri. Ada buah-buah yang ditempatkan di lemari pendingin. Tokonya amat bagus dan diterangi lampu neon. Anehnya, walaupun modal yang dibutuhkan besar, Paman Akhan mau meminjamkannya.
Sahabat-sahabat kecil Amos membantunya dan juga memberi semangat. Mereka menyebarkan selebaran dan melayani di toko dengan senyum ramah dan tulus. Dalam waktu setahun usaha Amos berkembang pesat. la mengembalikan pinjaman kepada Paman Akhan.
Suatu hari Paman Akhan meninjau toko Amos. Setelah bercakap-cakap Paman Akhan berkata, "Amos, ternyata kamu juga sama pandai seperti ayahmu. Ketahuilah, sebenarnya ayahmu mewariskan banyak uang. Hanya ia berpesan supaya aku mengawasi penggunaannya. Kini aku yakin kamu bisa mengelola uang dengan baik. Jadi seluruh uang ayahmu akan kuserahkan kepadamu.”
Amos terkejut. Rupanya dugaannya tidak salah. Namun, dalam hati Amos ada perasaan sakit. Rupanya ayahnya sama seperti rekan-rekan dagang ayahnya, tidak memercayai kemampuannya. Hanya sahabat-sahabat kecilnya yang memercayainya.
Uang itu tidak digunakan Amos untuk berdagang, tetapi disimpannya di bank. Kemudian ia memberitahu pengurus Panti Asuhan bahwa setiap anak panti boleh menempuh pendidikan setinggi-tingginya atas biaya Amos. Demikianlah, Amos membalas budi sahabat-sahabat kecilnya. Pada waktu seseorang mengalami kesulitan dan merasa kecil hati, berilah semangat. Kamu tidak akan rugi dan orang itu bisa bangkit semangatnya, mau berusaha dan berhasil.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Tomat-Tomat yang Sudah Dibeli Bobo dan Coreng Hilang! Simak Keseruannya di KiGaBo Episode 7
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR