Sebagian besar hasil karyanya adalah gambar wanita cantik berhidung mancung dan bertubuh langsing. Ada juga pria tampan dengan sisiran rambut yang rapi. Dan si pelukis, Pak Amang, telah membuat gambar puluhan sampul buku, yang tentu saja terpajang di banyak toko buku.
Suatu ketika ada perubahan di perusahaan tempat ia bekerja. Pemilik perusahaan penerbitan itu meninggal dunia. Perusahaan dikelola oleh adik sang pemilik yang bernama Pak Dudi.
Suatu hah Pak Dudi berkata, "Pak Amang, kalau Pak Amang tidak meningkatkan keterampilan melukis Pak Amang, maka Bapak akan tersingkir oleh pelukis-pelukis lain. Gambar Pak Amang membosankan, itu-itu saja. Selalu wanita berhidung mancung dan bertubuh langsing dan pria tampan dengan rambut tersisir rapi! Paduan wamanya juga begitu-begitu saja. Seperti orang yang tidak kreatif saja, orang yang hampir masuk kubur!"
Mendengar kritik dari bos barunya, Pak Amang sangat kecewa. la mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dan tak mau melukis lagi. Maka Pak Amang pun tinggal di desa dan memulai hidup baru sebagai petani bunga. la tak pernah melukis lagi. Bahkan ia tak berhubungan dengan kawan-kawan sekantornya dulu. la menyembunyikan alamatnya sehingga kawan sekantornya yang akrab yang bernama Pak Anto pun tidak bisa mencarinya. Sering ia mengalami perasaan rindu untuk melukis, tapi ia selalu ingat perkataan Pak Dudi bahwa gambarnya membosankan. Lagi pula ia dinilai tidak kreatif. Jadi untuk apa ia melukis? la seorang pelukis yang gagal.
Kadang-kadang timbul perasaan benci Pak Amang pada Pak Dudi. Kalaulah Pak Dudi tidak bicara seperti itu pastilah ia masih sibuk melukis sampul-sampul buku dan karyanya dinikmati para pembeli buku. Juga ia masih menikmati saat-saat yang manis dalam pergaulan dengan kawan-kawan sekantornya dulu. Sekarang nama Amang Subandi sebagai pelukis dilupakan orang. Bahkan ia mulai terserang penyakit eksim yang tidak sembuh-sembuh walaupun berbagai macam obat sudah dicoba.
Terpikir oleh Pak Amang untuk membalas dendam pada Pak Dudi agar tidak bicara seenaknya. Rasanya ia ingin menemui Pak Dudi dan memaki-makinya agar jangan mematahkan semangat orang. Namun, itu tidak dilakukannya.
Suatu ketika ia memandang bunga-bunga di kebunnya. Tiba-tiba terlintas sesuatu di benaknya. Maka Pak Amang pun menjadi sangat bersemangat. la akan mulai melukis bunga sebagus mungkin lalu menjual hasil karyanya. Juga lukisan-lukisan bunga itu akan disumbangkannya pada lembaga-lembaga sosial. Mereka bisa menjualnya dan mendapatkan dana. Bila ia sudah terkenal, tentu ia akan diwawancarai di majalah atau televisi atau bisa mengadakan pameran. Pada waktu itulah ia akan mengecam Pak Dudi.
Maka Pak Amang pun mulai bekerja keras. Ternyata menggambar bunga jauh lebih mudah. Apalagi contoh bunga-bunga yang indah dan segar dengan mudah bias didapat dari kebun bunganya.
Satu tahun kemudian Pak Amang mulai terkenal sebagai pelukis bunga. Hasil karyanya laku keras. Pak Amang sendiri tidak pernah ke kota. la hanya menyuruh pegawainya pergi ke alamat-alamat yang ditentukannya. Diam-diam ia berharap saat untuk membalas dendam tak lama lagi akan tiba.
Suatu hari Pak Amang ingin membeli peralatan melukis di kota kecil tak jauh dari desanya.. Di kota kecil itu ia melihat sebuah mobil mogok. Mobil yang amat dikenalnya, sebab mobil itu adalah mobil Pak Anto, kawan akrab sekantornya dulu.
Sejenak Pak Amang ragu. Akankah ia mendekati Pak Anto dan menolongnya ataukah ia pura-pura tak kenal dan menjauh. Akhirnya ia mendekati mobil itu dan menyapa kawannya.
Pak Anto sangat gembira dan memeluknya. Sungguh suatu perjumpaan yang mengharukan. Pak Amang menarik mobil Pak Anto dengan mobilnya dan membawanya ke bengkel. Sambil menunggu perbaikan mereka bercakap-cakap melepas rindu.
"Sudah lama aku mencarimu, tapi tak bertemu. Baru beberapa hari yang lalu ada orang yang mengatakan bahwa kamu tinggal di desa tak jauh dari kota kecil ini. Aku datang mencarimu, tapi ternyata mobilku ini mogok di sini!" demikian cerita Pak Anto.
Pak Amang sangat terharu atas perhatian kawannya yang demikian besar. Setelah mobil diperbaiki Pak Amang mengajak Pak Anto ke rumahnya. Mereka bercerita dengan asyik. Dengan terus terang Pak Amang menceritakan niatnya untuk membalas dendam pada Pak Dudi. Pak Anto menggeleng-gelengkan kepala.
"Buang saja dendam itu Pak Amang. Pak Dudi sudah meninggal akibat serangan darah tinggi. Itu terjadi tiga bulan setelah Pak Amang mengundurkan diri. Hanya kami tak tahu alamat Pak Amang dan Pak Amang juga tak pemah kontak kami, jadi berita itu tak bisa kami sampaikan!" demikian penjelasan Pak Anto.
Pak Amang terdiam. Rupanya selama ini ia salah langkah. Ia terus mengingat kata-kata Pak Dudi dan membencinya, tapi ternyata Pak Dudi sudah meninggal. Tak ada gunanya dipermasalahkan lagi. Dan dendamnya juga merupakan dendam yang sia-sia. Dan kalau dipikir, ada benarnya pendapat Pak Dudi. Pak Amang harus meningkatkan keetrampilan melukisnya. Hanya cara mengemukakannya terlalu pedas.
Malam itu Pak Amang tidur nyenyak. la sudah membuang dendamnya. Dendam yang sia-sia. Kira-kira sebulan kemudian penyakit eksimnya sudah sembuh. Dan nama Amang Subandi terkenal sebagai pelukis bunga dan ia pun mulai aktif melukis sampul buku lagi dengan teknik yang lebih baik.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR