Desa Owari terletak di pegunungan yang tenang. Penduduknya bekerja sebagai peternak dan pembuat arang. Suatu ketika, terjadi keributan di desa yang tenang itu. Satu persatu ternak warga hilang. Mula-mula hanya unggas, lalu ternak besar seperti kambing dan sapi pun mulai hilang.
Penduduk desa jadi sangat ketakutan. Bagaimana kalau berikutnya ada warga desa yang hilang? Hampir setiap malam mereka tak bisa tidur karena berjaga dan ketakutan.
Beberapa warga desa menduga ada makhluk buas yang menyerang ternak mereka. Mereka lalu menyelidiki jejak kaki makhluk itu sampai ke dalam hutan. Mereka juga memasang berbagai perangkap. Anehnya, makhluk itu tidak pernah tertangkap. Ia sepertinya tahu apa yang dilakukan oleh penduduk desa.
Di dalam hutan itu, ada sebuah gunung yang tinggi. Di sana, tinggallah seorang pemburu bernama Gompei bersama ibunya. Gompei pemberani dan biasa melawan hewan buas di hutan. Ia juga ahli menembak, dan selalu tepat kena sasaran. Gompei mendengar berita tentang makhluk buas yang menyerang ternak warga desa. Ia bertekad untuk memburu makhluk itu agar warga desa tidak ketakutan lagi.
Setelah pamit pada ibunya, Gompei memulai penyelidikannya. Ia berkeliling hutan dari pagi sampai malam. Namun ia tak menemukan hal yang aneh. Berhari-hari Gompei tidur di gubuk para penebang kayu di hutan. Kadang, ia juga berjaga di tempat pembakaran arang. Namun tetap saja ia tak menemukan apapun.
Gompei akhirnya pulang ke rumah untuk beristirahat. Setiba di rumah, ibunya mengajaknya makan malam. Saat makan, ibu Gompei menunjuk ke seekor kucing hitam kecil di pangkuannya.
“Beberapa hari lalu, aku menemukan kucing kecil ini di hutan. Dia kelaparan dan kedinginan. Aku merawatnya sehingga dia kelihatan cantik sekarang.”
Kucing itu mendengkur di pangkuan ibu Gompei. Gompei lalu bercerita tentang keadaan di hutan. Sehabis makan, ia lalu tidur dengan nyenyak.
Esok harinya, Gompei siap pergi lagi. Ia membungkus beberapa potong mochi. Dengan hati-hati, Gompei juga menghitung peluru yang akan ia bawa. Ada 12 butir peluru. Saat mengantongi peluru-peluru itu, tiba-tiba Gompei merasa ada yang mengawasinya.
“Apakah ada orang lain di rumah ini?” pikirnya. Ibunya sedang tidur. Gompei lalu melihat ke sekeliling. Hanya ada kucing ibunya yang mengawasinya di pojok ruangan.
“Ah, mungkin hanya perasaanku. Mungkin karena aku terlalu lama berada di hutan,” pikir Gompei. Namun ia tetap merasa tidak enak. Maka diam-diam, Gompei mengambil sebutir peluru lagi dan mengantonginya.
Gompei lalu menghabiskan harinya lagi di hutan. Ia tetap tak menemukan apa-apa. Gompei memutuskan untuk menginap di pondok di hutan. Ia memakan mochi bekalnya, lalu tidur.
Malam pun tiba. Saat sedang tidur nyenyak, tiba-tiba ia terbangun mendengar suara dengusan. Gompei langsung meloncat turun dari tempat tidur, dan menyiapkan senjatanya. Ia keluar dari pondok itu dan melihat ke sekeliling.
Di kegelapan malam, tiba tiba muncul sepasang mata yang bercahaya mengerikan. Semakin lama, semakin dekat ke pondoknya. Tidak ada hewan yang matanya seperti itu, pikir Gompei.
Bekas tembakan itu terlihat bagai warna perak. Namun mata itu tetap menyala di kegelapan. Semakin terang dan semakin dekat ke gubuk. Gompei menembak lagi, dan menembak lagi. Terdengar bunyi benturan peluru yang mengenai besi beberapa kali. Dan mata menyala itu semakin dekat, semakin dekat.
Akhirnya, Gompei dengan putus asa menembakknya peluru keduabelas. Peluru terakhir miliknya. Dan sekali lagi, peluru itu seperti terpental karena menyentuh besi. KLANG! Di akhir bunyi itu, tiba-tiba terdengar suara tawa di kegelapan malam. Gompei benar-benar takut. Mata besar itu tetap bercahaya bagai api, dan semakin dekat.
Gompei teringat akan peluru ke 13 yang diam diam ia bawa. Gompei menembakkan peluru itu. Seketika terdengar teriakan mengerikan. Lalu mata menyala itu perlahan-lahan pudar dan menghilang. Suasana jadi sunyi lagi. Gompei mengusap keringatnya. Di kegelapan, tak terlihat apa-apa lagi. Ia masuk kembali ke pondoknya dan berjaga-jaga sampai pagi.
Perlahan, pagi pun tiba. Suara burung bernyanyi terdengar. Ketika di luar sudah cukup terang untuk melihat jalan, Gompei pun keluar dari gubuk itu. Ia memeriksa tempat mata menyala yang dilihatnya semalam.
Gompei menemukan 12 pelurunya berserakan di jalan setapak. Ia juga menemukan sebuah tutup panci yang terbuat dari besi. Tutup panci itu sudah penyok terkena peluru.
“Aha, tutup panci ini yang membuat bunyi besi tadi malam,” pikir Gompei.
Ia terus berjalan ke dalam hutan. Betapa terkejutnya Gompei ketika menemukan seekor kucing besar tergeletak di tanah. Kucing itu memiliki dua ekor. Itu adalah Nekomata, si siluman kucing. Ternyata Nekomata yang mencuri ternak warga desa selama ini. Gompei segera menguburkannya.
Selama ini, Gompei hanya mendengar cerita dari pemburu lain tentang Nekomata. Menurut mereka, Nekomata menguasai seluruh kucing di desa Owari. Kucing-kucing itulah yang menjadi mata-mata Nekomata, dan selalu melaporkan kegiatan warga desa padanya. Itu sebabnya, Nekomata tidak pernah tertangkap.
Tiba tiba, Gompei menjadi ketakutan ketika teringat kucing yang ditemukan ibunya di hutan. Nekomata bisa menyamar menjadi kucing lucu agar bisa masuk ke rumah orang. Gompei buru-buru pulang ke rumah, khawatir terjadi sesuatu pada ibunya.
Setiba di rumah, ibu Gompei yang membuka pintu. Gompei sangat lega. Ibunya mengeluh karena nasinya tidak bisa matang dengan baik. “Tutup panciku yang terbuat dari besi, hilang. Aku sudah pikun dan lupa meletakkannya dimana. Dan kucing kecilku juga menghilang,” keluhnya. Gompei semakin lega.
(Dok. Majalah Bobo / Folklore)
Source | : | Dok. Majalah Bobo / Folkore |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR