“Maaf, aku tidak bisa!” jawabku merah padam.
“Wah, gawat! Kau sama sekali tidak pernah terlibat di dapur?” kata Lia.
“Aku juga sama!” Titi membelaku.
“Untung Eni ikut. Kalau tidak, aku pun tak sanggup masak. Aku cuma bisa masak mi instan dan goreng telur!” Eni diam saja, ia hanya tersenyum maklum. Malam hari sesudah makan, aku membantu Mirna dan Eni mencuci piring.
Sesudah itu kami berempat bermain ludo. Eni membaca buku. Udara dingin.
“Ooooh, aku lupa. Belum menaburkan garam!” tiba-tiba Eni berkata.
“Garam? Untuk apa?” tanya Titi dengan wajah heran.
“Supaya ular tidak masuk ke rumah kita!” jawab Mirna.
“Hiii, banyak ular di sini?” tanya Lia dengan mimik ketakutan.
“Tidak, cuma untuk jaga-jaga saja. Paling sekali-sekali ada yang tersesat atau mau berkenalan denganmu!” goda Mirna.
Eni menuju ke luar, membawa sekantung plastik garam kasar. Ia menaburkan garam ke sekeliling rumah.
Saat itu aku merasakan betapa pentingnya kehadiran Eni. Padahal sebelum berangkat, kecuali Mirna, kami kurang bisa menerima kehadiran Eni. Rasanya, kok, dia lain sendiri. Namun, walau pendiam, ia ternyata pandai masak. Ia bekerja tanpa banyak bicara. Ia membuat kami merasa aman.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR