Raja Sanggabuana mempunyai dua anak kembar, yaitu Pangeran Eka dan Pangeran Dwipa. Tapi musibah menimpa kerajaan karena Pangeran Eka dilarikan pengasuhnya selagi masih bayi. Usaha pencarian dilakukan ke seluruh pelosok negeri, mengerahkan ribuan orang. Namun ternyata pangeran kecil itu tak ditemukan. Akhirnya Raja menyerahkan segala persoalan itu kepada Yang Maha Kuasa. Raja selalu berdoa agar anaknya akan kembali pada suatu hari.
Karena takut anak yang satunya pun hilang. Raja memerintahkan Pangeran Dwipa dijaga sebaik-baiknya. Segala keinginannyadipenuhi. Setiap saat, para dayang dan penjaga siap melaksanakan perintahnya. Tapi akhirnya Pangeran Dwipa tumbuh jadi anak yang malas dan sombong.
Sebab itu Perdana Menteri menganjurkan agar Pangeran Dwipa segera dilatih ketangkasan memanah dan menombak, sesuatu yang sudah seharusnya dikuasai calon Raja. Selain itu Pangeran Dwipa diharuskan membaca berjilid-jilid buku pelajaran. Raja setuju pada usul tersebut. Pangeran segera diperintahkan untuk belajar ketangkasan dan belajar dengan sebaik-baiknya.
"Ingat anakku, di kerajaan ini terdapat peraturan tidak tertulis, bahwa seorang Raja harus perkasa dan memiliki pengetahuan yang luas. Selain itu seorang Raja pun harus memiliki hati yang bersih dan sanggup menderita untuk rakyatnya," kata Raja.
"Baik, Ayahanda," sahut Pangeran Dwipa.
Namun janji hanya janji. Pangeran Dwipa enggan berlatih ketangkasan, enggan belajar.
"Awas, kalau kalian melaporkan hal ini pada Raja." Ancam Pangeran Dwipa ketika para pembantunya menegurnya untuk tidak bermalas-malasan.
Waktu berputar. Raja pun semakin tua. Raja baru sudah seharusnya diangkat. Pangeran Dwipa yang sudah dewasa bertanya pada Raja, kapan dirinya diangkat menjadi Raja.
"Kalau kamu sudah siap!" jawab ayahnya.
"Saya sudah siap, Ayah!"
"Baiklah. Kau akan segera melaksanakan ujian sebagai seorang calon Raja."
"Ujian? Apakah perlu ada ujian Ayah?" Pangeran Dwipa terkejut.
"Harus ada! Supaya negeri ini tidak ditimpa bencana!"
Hari yang ditentukan untuk ujian pun tiba. Raja telah mengundang seluruh rakyatnya untuk menyaksikannya. Pangeran Dwipa sangat cemas. la tidak tahu, apa yang akan diujikan padanya.
"Ujian pertama. Yang Mulia Pangeran dipersilakan untuk memanah bola yang akan dilemparkan dari menara," kata Perdana Mentri dengan suara yang keras.
Dengan gontai Pangeran segera meraih busur. la menyesal tidak pernah bersungguh-sungguh belajar memanah. Seorang putri melemparkan bola dari menara.Pangeran melepaskan anak panah. Tapi bola itu melambung tinggi, sementara anak panah jatuh ke tanah. Pangeran telah gagal.
"Ujian kedua. Kalau ini gagal akan menjadi ujian yang terakhir. Yang mulia Pangeran dipersilakan untuk menombak buah jeruk di pohon ini," kata Perdana Menteri.
Pangeran segera meraih tombak. Ketakutan dan penyesalan terlihat pada tangannya yang gemetar. Kemudian Pangeran segera melontarkan tombak itu. Tombak menancap di batang pohon. Pangeran segera berlutut lalu menangis tersedu-sedu, menyesali kegagalannya.
Betapa sedihnya Raja menyaksikan semuanya itu. Anak yang diharapkannya telah membuyarkan impiannya.
"Apa yang bisa kami lakukan Yang Mulia?" tanya Perdana Menteri.
Raja terdiam murung.
"Carilah seorang calon Raja diantara rakyatku. Seorang pemuda yang cakap!" titah Raja.
"Baik, Yang Mulia!"
Kemudian Perdana Menteri berkeliling lapangan untuk mencari pemuda yang dimaksud. Lalu pandangannya berhenti pada pemuda yang duduk di bawah pohon. Pakaiannya lusuh sekali, namun ia kelihatan cakap.
"Kau! Siapa namamu?" tanya Perdana Menteri.
"Namaku Eka, Yang Mulia!" sahut pemuda itu sopan.
"Eka, maukah engkau melakukan seperti yang dilakukan Pangeran Dwipa?"
"Dengan senang hati, Yang Mulia!"
Seorang putri melemparkan bola dari menara. Eka segera memanah bola itu. Anak panah melesat dan menembus bola yang melambung itu. Bola pun jatuh ke tanah. Sorak sorai dari rakyat pun membahana.
Kemudian Eka ditugaskan menombak jeruk. Ini pun berhasil. Tombak menancap tepat di tengah buah jeruk raksasa itu.
"Yang Mulia, titah sudah saya lakukan," kata Eka.
"Tunggu anak muda, Yang Mulia Raja akan mengajukan pertanyaan untukmu," kata Perdana Menteri.
Eka segera berlutut di depan Raja.
"Anak muda, kalau engkau berhasil menjawab dua pertanyaan ini, aku akan memberimu hadiah. Dengarkan baik-baik. Ada sesuatu. Sesuatu itu dasarnya begitu sulit diketahui kedalamannya. Dan di dalamnya terdapat segala hal yang akan menjadi penentu kejadian. Jawablah anak muda, apakah sesuatu itu!"
Eka terdiam. Pertanyaan itu begitu sulit. Tapi ia berpikir keras. Akhirnya ia mendapat jawaban.
"Yang Mulia, sesuatu itu adalah hati manusia. Kita tak dapat mengetahui kedalaman hati manusia. Hati manusia yang baik akan menjadikan segala kejadian di alam semesta ini baik, tapi hati yang dengki, serakah, dan jahat akan membawa kehancuran bagi umat manusia," kata Eka.
Raja mengangguk-angguk. Raja sangat kagum akan kepandaian anak muda itu.
"Satu lagi. Apakah arti rakyat bagi seorang Raja?"
"Rakyat adalah amanat dari Yang Maha Kuasa untuk dibimbing oleh Raja kepada kehidupan yang lebih baik," sahut Eka.
Kembali Raja terkagum-kagum akan jawaban yang diberikan pemuda berpakaian lusuh itu. Tapi wajah pemuda itu begitu disukainya.
"Siapakah engkau anak muda?"
"Saya orang miskin dari hutan Jati. Saya tak tahu siapa orang tua saya. Saya dibesarkan oleh seorang petapa. Saya ditugaskan menebang kayu, berburu, belajar, dan menolong mengobati penduduk yang sakit. Pertapa itu menamai saya Eka."
Raja terkejut. Dilihat dari keterangan pemuda itu, mungkinkah ia Pangeran Eka yang hilang? Apalagi betapa miripnya ia dengan Pangeran Dwipa. Bagai pinang dibelah dua.
Raja lalu menyuruh Eka memperlihatkan telapak kakinya. Tampaklah titik merah di tengah telapak kaki Eka, seperti yang ada pada Pangeran Dwipa. Tak diragukan lagi, pemuda itu adalah Pangeran Eka yang hilang. Betapa gembiranya Raja yang telah menemukan kembali anaknya yang hilang, sekaligus calon Raja yang perkasa dan bijaksana. Pangeran Dwipa pun sangat bersuka cita karena berjumpa lagi dengan saudaranya yang selalu dirindukannya. la telah menyadari kesalahannya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Renny Yaniar.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR