Di sebuah desa di Jepang, ada pemandangan yang aneh. Ada sebuah rumah besar indah yang separuhnya tenggelam di dalam rawa. Air ada di sekelilingnya. Pintu rumah sudah lepas dari kusennya dan burung air bisa bersarang di dalam rumah.
Di belakang rumah, ada sungai dengan air yang jernih dan tidak pernah banjir. Dan itulah anehnya. Menurut cerita, pemilik rumah itu pindah tiba-tiba ke provinsi lain yang jauh. Namun pelayan mereka yang penduduk asli desa itu, masih ingat bagaimana setengah dari rumah itu bisa tenggelam di dalam rawa. Pelayan itu seorang anak gadis berusia 17 tahun. Ketika ditanya, inilah ceritanya…
“Tidak ada seorangpun yang mau tinggal di rumah Pak Shichiro setelah mereka pergi. Namun dulu, ketika keluarga muda itu tinggal di sana, para tetangga datang setiap hari. Pak Shichiro memang tampak seperti tuan rumah yang ramah. Begitu juga istrinya. Dan menurut cerita beberapa orang, sayalah yang salah sehingga keluarga itu mendapat musibah. Namun itu tidak benar. Inilah kejadian yang sebenarnya…
Dulu, tentu saja tidak ada rawa berlumpur di sekitar rumah itu. Tidak mungkin ada orang yang mau membangun rumah di atas rawa. Saat itu, hanya ada sungai jernih yang penuh ikan di belakang rumah.
Bu Shichiro baru saja melahirkan seorang bayi lelaki. Dulu saya bertugas memasak dan mengurus rumah. Karena hanya sendirian di dapur, saya senang jika ada seseorang datang mengunjungi saya di dapur dan menemani saya bercakap sementara saya bekerja.
Pada suatu musim panas, ada anak lelaki kecil yang masuk ke dapur saya. Umurnya kira-kira 8 tahun dan tubuhnya sangat kecil. Anak itu datang setiap hari. Ia menyelinap ke dapur dan duduk mengajak saya bercakap seperti orang dewasa. Tentu saja saya senang karena mempunyai teman kecil.
Anak ini sering bertanya tentang pak Shichiro, nyonya, dan bayinya, dan juga tentang isi rumah. Dia ingin tahu, seperti apa bagian dalam rumah, berapa kamarnya, dan lain-lain. Setiap hari dia mengunjungi saya, membawa ikan dan ketam dari sungai. Dia anak yang baik.
Aku tahu dia bukan warga desa, karena saya mengenal semua warga desa. Mungkin dia salah satu anak tetangga di perumahan Pak Shichiro. Waktu saya tanya dia darimana, dia tertawa dan bilang rumahnya tak jauh. Dia selalu menghindari pertanyaan saya. Saya tidak curiga dan tidak pernah bertanya lagi.
Suatu hari, saat saya sedang memasak dan bercakap dengannya, dia minta ijin pada saya untuk masuk ke dalam rumah. Dia ingin melihat suasana rumah, dan ingin melihat si bayi, putra Pak Shichiro. Saya bilang, itu tdak mungkin. Pak Shichiro si pemilik rumah, kan, tidak mengenalnya. Saya rasa anak ini mulai keterlaluan. Tuan Shichiro bisa marah pada saya kalau anak ini saya ijinkan masuk. Dia minta maaf dan hampir menangis. Dia terlihat sedih dan hanya berkata, “Ya sudahlah kalau begitu,” lalu dia pergi.
Saya rasa saya telah melukai perasaannya. Saya tidak ingin begitu. Saya lalu lari mengejarnya untuk menjelaskan padanya. Namun dia menghilang dan tak ada tanda dia pergi kemana. Saya mencarinya di sekeliling rumah.
Lalu saya melihat ada anak kecil sedang mendayung perahu di sungai. Namun anak itu tampak beda. Dia berwarna hijau dan tubuhnya separuh manusia dan separuh katak. Tangan dan kakinya berselaput. Ada seperti cangkang kura-kura di punggungnya, dan ada sebentuk mangkuk di atas kepalanya. Makhluk itu dikenal di Jepang dengan nama Kappa. Saya langsung tahu itu Kappa, karena sering mendengar cerita orang-orang tua di desa. Baru kali ini saya melihat Kappa.
Saya menatapnya. Dia melihat ke arah saya dan tersenyum sedih dan melambai padaku. Dia lalu melompat ke dalam sungai dan menghilang.
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR