Teman-teman punya nenek, kan? Kali ini, aku ingin bercerita tentang nenekku. Nenek Kunti adalah nenekku, mama dari mamaku. Satu hal yang paling aku ingat dari Nenek Kunti adalah rambutnya. Aku ingat kejadian lima tahun lalu, ketika aku masih berumur enam tahun. Aku tersenyum membayangkannya.
Waktu itu, rambut Nenek Kunti mulai beruban. Suatu hari, Nenek memanggilku. "Cacha, kamu sayang Nenek, kan? Nenek boleh minta tolong tidak?" tanya Nenek.
"Tentu saja Cacha sayang Nenek. Minta tolong apa, Nek?" tanyaku.
"Rambut Nenek sudah mulai beruban, nih. Tolong, dong, cabutin uban Nenek."
"Huaha hahaha..." aku tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan Nenek yang lucu. Tapi Nenek tidak tertawa. Nenek malah memandangiku dengan heran.
"Kenapa Cacha tertawa?" tanya Nenek.
"Habis... habis Nenek lucu!" kataku masih tertawa. "Masak Cacha disuruh mencabuti uban Nenek?"
"lya, Cha. Nanti Nenek beri hadiah, deh!" rayu Nenek.
Wow, mataku mulai membesar. "Apa hadiahnya, Nek?" tanyaku mulai bersemangat.
"Seribu rupiah untuk setiap helai uban yang Cacha dapatkan!" jawab Nenek menggoda.
Wuih, asyik, nih! "Setuju!" teriakku sambil menempelkan jempolku ke jempol Nenek. Itu suatu tanda kalau kami punya sebuah perjanjian.
Kini, aku sedang memegang celengan kaleng bergambar Winni The Pooh kesayanganku. Air mataku menetes. Setahun yang lalu Nenek sakit parah dan harus masuk ke rumah sakit. Oh, aku terlalu sedih untuk menceritakan hal ini padamu. Ya, nenekku, Nenek Kunti, sakit parah. Kata Mama, Nenek sakit kanker. Sebenarnya, aku juga tidak terlalu mengerti tentang sakit kanker ini.Tapi, kata Mama, Nenek harus menjalani pengobatan yang disebut kemoterapi. Aku heran ketika menjenguk Nenek. Aku melihat Nenek memakai tutup kepala.
"Kenapa Nenek memakai penutup kepala?" tanyaku.
Nenek tersenyum. "Sayang, karena Nenek dikemoterapi, rambut Nenek jadi rontok. Sekarang, Nenek tak punya rambut lagi," jelas Nenek.
Astaga! Aku terkejut! Apakah harus seperti itu? Oh, aku sedih sekali mendengarnya.
"Kenapa bersedih, Cacha? Bukankah tugasmu berkurang satu? Kamu tidak perlu lagi mencabut rambut putih Nenek, kan?" canda Nenek.
Ah, nenekku benar-benar seorang nenek hebat! Biarpun sedih dan sakit, Nenek masih bisa bercanda dan tertawa. Aku mengangkat celengan di tanganku. Hmm...lumayan berat!
Aku tersenyum, ini adalah hasil kerja kerasku mencabuti rambut putih Nenek. Aku memang sengaja menyisihkan uang itu untuk ditabung.
Besok adalah ulang tahun Nenek. Dan aku punya rencana buat Nenek. Cepat-cepat kubuka celengan itu, lalu kuhitung isinya. Tiga ratus lima puluh lima ribu rupiah. Berarti aku sudah mencabut tiga ratus lima puluh lima helai rambut putih Nenek. Oh, banyak sekali! Ups, tidak, tidak sebanyak itu! Aku ingat, Nenek pernah memberiku uang seratus ribu sebagai hadiah ulang tahunku. Sekaligus hadiah juara satu. Dan aku memasukkan uang itu ke dalam celengan ini.
Hari ini aku bangun dengan semangat. Kak Nana akan mengantarku jalan-jalan ke toko. Ah, senangnya punya kakak sebaik Kak Nana. Dia mau mengantarkan dan menungguiku memilih hadiah buat Nenek. Bahkan, Kak Nana ikut memilihkannya.
"Selamat ulang tahun, Nek!" bisikku mencium pipi Nenek.
Hari ini Nenek kelihatan lebih sehat dan berseri-seri. Kata dokter, kesehatan Nenek semakin membaik. Aku senang mendengarnya.
"Terima kasih, Sayang. Wah, apa ini?" Mata Nenek berbinarbinat melihat hadiah yang kuulurkan. Cepat-cepat Nenek membuka bungkusnya.
"Oh, Sayangku! Terima kasih, Anak Manis!" Nenek mengecup pipiku.
"Itu berasal dari rambut Nenek!" Kataku.
Nenek mengernyitkan dahinya. "Maksud Cacha?" Aku pun bercerita. Nenek tertawa. "Oh, jadi, dari rambut kembali ke rambut!" seru Nenek.
Aku ikut tertawa. Teman teman, aku senang sekali Nenek terlihat cantik dengan wig baru hadiah ulang tahun dariku.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Veronica Widyastuti
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR