Kalau mendengar mi glosor, pasti yang terbayang adalah Kota Bogor. Sebab, mi yang berasal dari tepung sagu (aci) dicampur kunyit ini memang identik dengan kota hujan. Tetapi dibalik semua itu, ada fakta lain yang patut kamu ketahui seputar mi glosor yang satu ini.
Bentuk dan tekstur mi glosor
Mie satu ini berbeda dengan mie yang biasanya ada di penjual bakmie, ataupun pedagang nasi dan mie goreng, sebab selain memiliki tekstur kenyal, mi glosor ini lebih licin daripada mi biasanya.
Jajanan di bulan Ramadhan
Selain dapat ditemukan di pasar tradisional dengan harga terjangkau, mi yang dibungkus dalam kantong–kantong plastik bening ini juga dapat dijumpai dalam bentuk matang di berbagai pelosok kota Bogor.
Apalagi ketika bulan Ramadhan tiba, para penjual mi gelosor seolah merajai jajanan di kota hujan. Biasanya mie glosor digoreng dengan campuran sayuran, seperti kol dan sawi hijau yang ditumis terlebih dahulu. Nanti setelah matang, disajikan dengan gorengan dan sambal kacang.
Mi glosor bukan jajanan asli Bogor
Meski identik sebagai jajanan khas Bogor, namun pada kenyataannya mi glosor ini sebenarnya bukan asli dari kota Bogor, lo. Me glosor ini sebenarnya berasal dari Sukabumi yang kemudian menjadi terkenal dan digemari oleh masyarakat kota Bogor.
Mengapa namanya mi glosor?
Ayo, siapa yang tau mengapa mi tersebut disebut mi glosor? Glosor atau gelosor (mengalir), dipakai untuk menggambarkan betapa mudahnya mie tersebut ketika dimakan, mudah dikunyah, mengalir lancar dari mulut menuju tenggorokan dan menggelosor menuju lambung.
Festival mi glosor
Karena kecintaan serta ingin terus melestasikan keberadaan mi glosor, maka Festival Me Glosor sering digelar di beberapa daerah di Bogor. Nggak tanggung–tanggung, 100 kilogram bakan lebih mi glosor pada saat itu dimasak dan dibagikan kepada seluruh warga masyarakat.
Tidak disarankan sebagai menu utama
Walau mi glosor merupakan makanan favorit di bulan Ramadhan, namun sebaiknya jangan dijadikan sebagai menu utama. Sebab kandungan serta vitamin yang terdapat dalam mie glosor belum layak untuk dijadikan sebagai pengganti zat–zat dalam tubuh setelah seharian menjalankan puasa.
Penulis | : | Eka Kartika |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR