Aku suka sekali jalan-jalan bersama kakek. Biasanya kakek selalu mengajakku ke kuil, taman, kebun, atau ke pasar tumbuhan. Tempat favoritku adalah pasar tumbuhan.
Minggu ini aku kembali berlibur di tempat kakek. Aku sangat senang bisa berlibur bersama lagi.
“Nah, kita akan menanam pohon yah besok,” kata Kakek kepadaku.
“Iya, siap Kek!” kataku senang.
“Kita beli dulu bibitnya yaah,” kata Kakek.
“Ke pasar tumbuhan Kek?” tanyaku.
Kakek mengangguk dan aku sangat girang sampai melompat-lompat. Aku tidak sabar untuk melihat banyak sekali tumbuhan di pasar.
Pagi itu pukul 05.00 kami mulai berangkat dengan sepeda. Pergi dengan kakek memang sering menggunakan sepeda. Saat aku masih kelas 3 SD, kakek akan memboncengku di belakang, sedangkan sekarang, ia mengizinkanku untuk mengayuh sepedaku sendiri.
Di pasar tumbuhan ada berbagai macam tumbuhan, ada yang sudah berbuah, ada juga yang masih berupa biji. Kami berjalan di sepanjang pasar sambil melihat-lihat. Kakek menunjuk toko kecil di sebelah kiri sebagai isyarat kalau kita akan masuk.
“Halo Kek!” sapa pemilik toko.
Kakek langsung tersenyum dan berjabat tangan dengannya.
“Kenalkan, ini cucu saya namanya Angga,” kata Kakek sambil mengamit tanganku untuk bersalaman.
“Ini adalah langganan kakek kalau membeli bibit,” bisik kakek padaku. Aku pun mengangguk.
Saking senangnya ketika diajak ke pasar, aku sampai lupa menanyakan pohon apa yang ingin ditanam kakek.
“Kakek, mau beli bibit pohon apa?” tanyaku berbisik.
“Trembesi,” jawab kakek singkat.
“Ini pesanannya Kek,” tiba-tiba pemilik toko datang membawa bibit pohon trembesi.
Ternyata kakek sudah memesan sebelumnya dan sekarang tinggal mengambil. Setelah mendapat bibit, kamipun segera meningalkan toko itu.
Kakek mengayuh sepedanya dan aku mengikuti dari belakang. “Hmm, pasti pulang dan menanam,” begitu pikirku.
Ternyata, Kakek berbelok ke arah yang berbeda dari rumah. Aku mulai bingung, tetapi tetap mengikuti kakek. Sepertinya aku mengenal jalur ini. “Ini jalur ke kuil,” kataku sendiri.
Benar ternyata. Kakek memarkir sepeda di depan kuil. Aku pun ikut kakek.
“Kek, kenapa ke kuil?” tanyaku.
“Kan mau menanam pohon,” kata kakek.
“Oh astagaa, aku pikir kita akan tanam di rumah,” kataku.
“Walah dek. Trembesi ini akan lebih hidup dan berkembang di halaman yang luas,” kata Kakek.
Kakek segera mengambil cangkul menggali tanah untuk menanam. Aku membantu kakek dengan semangat karena aku sangat suka menanam pohon. Pohon membuat udara semakin segar dan sangat seru membaca buku di bawah pohon.
“Selesai,” kataku senang.
“Haah, akhirnya…” jawab kakek.
Baju kami kotor tapi hati kami senang. Aku dan kakek segera mencuci tangan dan kaki. Kakek mengajakku berjalan kea rah pojok kuil dan duduk di bawah pohon.
“Angga, kamu suka pohon yang tadi?” tanya kakek.
“Suka kek, apalagi kalau dia tumbuh besar,” kataku.
“Nah, itu sekarang pohon milikku, rawatlah,” kata Kakek.
Waaah, aku senang sekali mendengar hal itu. Ini pertama kalinya aku punya pohon sendiri. Pohon trembesi.
“Nah, pohon tempat kita berteduh sekarang juga ditanam saat kakek berusia seperti kamu,” kata kakek sambil tersenyum.
Aku tak bisa berkata-kata. Pohon ini adalah pohon yang sering kali jadi tempat kami berteduh dari terik matahari sambil bercerita. Ternyata sudah ditanam kakek lebih dari 50 tahun yang lalu.
“Ini pohon kesayangan kakek Angga,” kata kakek. “Senang sekali melihatnya tumbuh besar,” lanjutnya.
“Wah hebat sekali! Aku akan merawat pohonku dengan baik agar bisa rindang seperti ini. Pohon itu akan jadi pohon kesayanganku,” kataku bersemangat. Kakek mengelus kepalaku dan tertawa. Kami pun tertawa bersama sambil menikmati bekal makan siang buatan nenek.
Cerita oleh Putri Puspita | Bobo.ID
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR