Aku melihat Kakek duduk termenung di dekat sepeda tuanya. Sepeda yang digunakan puluhan tahun. Aku mengingat sepeda itu dipakai sejak aku masih belum sekolah. Kakek biasanya bersepeda ke pasar setiap sore, lalu berjualan nanas, kemudian kembali ke rumah subuh.
Seingatku, Ibu dan Bapak tidak mengizinkan Kakek bersepeda lagi karena kesehatannya yang sudah tidak terlalu baik. Mungkin karena umur juga. Namun, dulu Kakek tetap tidak mau diantar, ia tetap ingin bersepeda.
“Kek, ini kopi dan kuenya,” kataku suatu pagi pada Kakek.
“Makasi Ning,” jawab Kakek.
“Kakek sedih ya tidak boleh bersepeda lagi?” tanyaku.
“Nggak, kok, Ning. Memang Kakek sudah terlalu tua untuk bersepeda jauh,” jawab Kakek.
“Iya, kalau di sekitar rumah sini, masih tidak apa-apa kok, Kek. Ibu dan Bapak pasti mengizinkan,” kataku.
“Iya, Ibu dan Bapakmu sudah bilang begitu pada Kakek,” jawab Kakek.
Mata Kakek masih terlihat sedih. Aku jadi bingung kenapa Kakek masih sedih.
“Ning, sepeda ini sudah bantu Kakek lama sekali,” kata Kakek.
“Iyah, kata Bapak juga begitu. Bahkan sebelum Bapak menikah dengan Ibu,” jawabku.
“Iya, betul. Tapi, apa ya yang bisa Kakek berikan untuk berterima kasih?” tanya Kakek.
Aku bingung menjawab pertanyaan Kakek. Memangnya kita bisa memberi hadiah kepada sepeda? Memangnya sepeda bisa senang diberi hadiah?
“Kek, kenapa harus memberi hadiah?” tanyaku bingung.
Kakek pun tertawa sambil mengusap-usap kepalaku.
“Itu bukan sepeda biasa Ning. Itu sahabat Kakek setelah Nenek tak ada,” bisik Kakek kepadaku.
“Kakek pergi bekerja dengan sepeda itu, membeli oleh-oleh juga dengan sepeda itu, membeli obat saat sakit juga dengan sepeda itu,” tambah Kakek sambil tersenyum kepadaku.
Aku masih bengong di sebelah sepeda Kakek. Sepeda pun bisa menjadi sahabat. Aku melirik ke arah sepedaku yang jarang aku gunakan dan jarang aku cuci. Tiba-tiba aku punya ide. Aku akan mengajak Kakek bersepeda sore ini ke taman kota yang tidak terlalu jauh dari rumah. Kakek pasti senang.
“Boleh ya Pak, Ning ajak Kakek ke taman kota?” tanyaku.
“Jelas boleh! Asal Ning bisa jaga Kakek,” jawab Bapak.
Aku pun sangat senang dan tidak sabar memberi tahu Kakek tentang ide ini.
“Wah! Ning mau bersepeda dengan Kakek?” tanya Kakek. Aku pun mengangguk tanpa ragu.
Sore itu, aku dan Kakek bersepeda berdua. Kakek bersama sepeda sahabatnya dan aku bersama sepeda yang mulai saat ini menjadi sahabatku.
“Ning, Kakek senang sudah memberi hadiah untuk sepeda ini,” kata Kakek sambil bersepeda di sampingku.
“Apa hadiahnya kek?” tanyaku bingung karena tidak melihat benda apapun yang dibawa Kakek.
“Ini nih, ini hadiahnya. Bersepeda dengan cucu Kakek yang cantik,” kata Kakek. “Dulu Kakek pernah janji akan bersepeda bersama cucu,” jawab Kakek tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum. Pelajaran kedua, setelah persahabatan adalah memberi hadiah bukan hanya dalam bentuk benda.
Kini, Kakek tak lagi sedih. Walaupun tidak bersepeda seperti dulu, tetapi sepeda itu tetap dirawat dengan baik. Kini giliranku menghabiskan waktu dengan sepeda, sahabatku. Pergi dan pulang kami selalu bersama-sama. Jadi, begini rasanya punya sahabat.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR