Di dunia ini mungkin tidak ada orang sesombong Simon Boom. Simon yang kaya raya itu selalu mencari barang yang terbaik baginya. Ia tak peduli barang itu kepanjangan atau kependekan, kebesaran atau kekecilan. Asalkan ada orang menyebut benda itu yang terbaik, maka ia segera membelinya. Ya, semua itu karena kesombongannya.
Simon punya seorang anak gadis yang akan menikah. Rosaline namanya.
"Aku akan membuat pesta pernikahan termegah dan akan dikenang semua orang," ujar Simon pada istrinya. "Aku akan mengundang orang-orang terkenal. Akan kuhidangkan santapan yang terbaik buat mereka."
Istrinya mengangguk setuju. Hati Simon semakin berbunga-bunga mendengarnya.
"Kita akan menghidangkan ayam atau ikan?" tanya istrinya.
"Tentu saja ikan. Semua jenis ikan yang terbaik akan kubeli untuk menyenangkan tamuku," jawab Simon bangga.
Istrinya kembali mengangguk-angguk. Tiga hari menjelang pesta, Simon mendatangi seorang penjual ikan terbaik di kotanya.
"Aku perlu 200 pon ikan apa saja asal yang terbaik. Ingat, ini untuk pesta penikahan anakku," ujarnya. Si penjual ikan mengacungkan jempolnya.
"Beres, Tuan. Semua yang terbaik. Ikan-ikan kami semanis gula," jawabnya.
Simon tertegun.
"Aha! Jika ikan-ikan semanis gula, pastilah gula yang terbaik. Ah, aku beli gula saja," ujarnya. Ia pun membatalkan niatnya membeli ikan dan segera beranjak meninggalkan penjual ikan yang terbengong-bengong.
"Aku perlu 200 pon gula yang terbaik," kata Simon kepada penjual gula.
Penjual gula tersenyum gembira. "Yang terbaik, Tuan? Jangan khawatir, gula kami semanis madu," jawabnya. Simon tersentak.
"Kalau begitu saya akan membeli madu saja!" katanya kemudian, dan segera beranjak pergi.
"Aku perlu 200 stoples madu yang terbaik untuk pesta pernikahan anakku," katanya kepada penjual madu.
Penjual madu menaikkan ujung topinya. "Beres, Tuan. Madu kami memang yang terbaik. Semurni minyak," jawabnya.
Simon terkejut. "Jadi minyak lebih baik dari madu? Kalau begitu lebih baik aku beli minyak saja!" katanya, segera meninggalkan penjual madu, pergi ke penjual minyak.
"Aku perlu 200 liter minyak terbaik untuk pesta pernikahan anakku," katanya kepada penjual minyak.
Penjual minyak tersenyum lebar. "Benar, tuan. Minyak kamilah yang terbaik. Minyak kami sebening air sumur," jawabnya. Simon kembali tersentak.
"Sebening air sumur? Jadi air sumur lebih baik dari minyak? Kalau begitu tidak jadi. Aku mau beli air sumur saja!" la segera meninggalkan penjual minyak yang terbengong-bengong. Simon menyusuri kota untuk mencari air sumur. Tetapi hingga lelah ia tak menemukan air itu.
Ketika ia hampir menyerah, seorang tukang air lewat membawa kaleng berisi air di punggungnya. Mungkin ia tahu, batin Simon, la memanggil tukang air itu.
"Di mana Bapak mendapatkan air itu?" tanya Simon.
"Air ini saya dapat dari sumur, Tuan," jawab tukang air.
"Jadi itu air sumur?"
"Benar, Tuan. Tuan tidak akan menemukan air sumur di toko mana pun. Karena air sumur hanya ada di dalam sumur."
"Apakah air sumur itu yang terbaik?"
Penjual air mengangguk-angguk.
"Air ini serba ter, Tuan. Terbaik, terdingin, tersegar, termurni, pokoknya semua ter," jelasnya.
Simon senang mendengamya.
"Kalau begitu aku pesan 200 drum air sumur untuk pesta perkawinan anakku."
"Beres, Tuan. Sebelum pesta dimulai, air sumur itu sudah tiba di rumah, Tuan."
Setiba di rumah, Simon melihat istrinya menyuruh para pelayan mengatur meja makan. Tapi Simon mencegah. Katanya, "Singkirkan garpu, sendok dan piring yang ada di meja. Yang perlu, siapkan gelas-gelas yang terbaik. Itu sudah cukup!"
Istrinya dan para pelayan terheran-heran. Namun mereka menuruti perintah Simon. Maka, di atas meja-meja makan hanya ada gelas-gelas yang banyak jumlahnya.
Ketika pesta mulai, tamu-tamu mulai berdatangan. Simon memerintahkan agar gelas-gelas segera diisi dengan air sumur. Karena sore itu cuaca sangat panas, tamu-tamu langsung meneguk minuman itu hingga habis.
"Inilah yang kami perlukan," ujar mereka.
Mendengarnya, bukan main senang hati Simon. "Lihatlah istriku. Air sumur yang terbaik telah membuat mereka senang."
Istrinya hanya diam. Dan Simon segera menyuruh para pelayan mengisi gelas-gelas yang kosong. Ketika musik mulai dimainkan, para undangan pun mulai berdansa. Dan ketika selesai berdansa, mereka kembali haus dan segera menghabiskan minuman air sumur yang tersedia. Simon memandangi mereka dengan puas.
Namun ketika para tamu mulai kelaparan, tak ada hidangan sedikit pun di atas meja. Kecuali air, air dan air. Maka mereka pun mengisi perutnya dengan air itu untuk menghilangkan rasa lapar.
"Mereka nampaknya sudah lapar. Apa tidak ada yang bisa kita suguhkan buat mereka?" tanya istrinya pada Simon.
Simon menggeleng. "Kita telah menyuguhkan yang terbaik," jawabnya. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 12.00, para tamu mulai merasakan kantuk, akibat perut mereka yang kembung oleh air sumur.
"Mungkin mereka perlu makan agar tidak mengantuk," saran istrinya.
Simon menggeleng dan segera memerintahkan para pelayan untuk kembali mengisi gelas-gelas yang kosong. Para pelayan kebingungan.
"Tuan, kita telah kehabisan air," ujar mereka.
Simon terkejut. "Cepat pesan air beberapa drum lagi!" serunya. Mungkin karena seruan Simon yang keras, para tamu terjaga. Mereka mengira bahwa hidangan sebentar lagi akan terhidang. Simon berdiri di tengah-tengah mereka.
"Saya tahu kalian menyukai air itu," katanya. "Jangan khawatir. Telah kusuruh para pelayan memesan beberapa drum lagi buat kalian."
Mendengar itu, para tamu bergegas pergi. Mereka merasa lemas, lapar, dan kesal bukan main. Tak ada seorang pun tamu yang tinggal.
"Lihatlah. Ulahmu membuat mereka sangat marah kepada kita!" jerit istri Simon, sambil menangis kesal.
"Apa yang salah pada hidangan yang kusuguhkan?" Simon bertanya, tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Hidangan? Yang kau suguhkan itu cuma air, air dan air!" tukas istrinya.
Simon melotot. "Hanya air? Aku telah menyuguhkan yang terbaik buat mereka!" jawabnya. "Aku telah menyuguhkan sesuatu yang lebih baik dari ikan, gula, madu dan minyak. Apakah itu salah?"
Istrinya tidak mejawab. Hatinya semakin kesal, menyesali kebodohan dan kesombongan Simon.
Sumber: Arsip Bobo. Diceritakan kembali dari Simon Boom Giges A Weeding.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR