Di desa yang terletak jauh dari Kota Kaesong, tinggallah sepasang suami istri yang miskin. Mereka mempunyai anak laki-laki bernama Can Syek Bong. Can Syek Bong cerdas dan rajin membantu pekerjaan orang tuanya.
Suatu hari ayahnya jatuh. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, ia berkata pada istrinya, "Aku hanya petani. Dan kau hanya penjual kue serabi. Tapi anak kita harus bisa menjadi orang pandai. Tingkat pendidikannya harus tinggi, setinggi-tingginya."
Istrinya berjanji akan mengusahakan hal itu. Maka meninggallah suaminya dengan tenang.
Pada waktu Can Syek Bong berusia sembilan tahun, ibunya berkata, "Nak, kini kau harus berusaha memenuhi keinginan ayahmu. Pergilah ke Kota Kaesong. Belajarlah di sana selama sepuluh tahun. Kau harus hafal seribu lukisan huruf dan hafal syair-syair yang terkenal. Kalau kau rajin, kau dapat menempuh ujian di Seoul. Belajarlah setinggi-tingginya sesuai pesan ayahmu."
Maka berangkatlah Can Syek Bong ke kota Kaesong. Ibunya tetap membuat dan menjual kue serabi. Tidak seorang pun di desa itu yang dapat menandingi kue serabinya, yang lembut, harum dan sedap. Pada malam hari, sang ibu sering merasa kesepian. Ia menangis karena merindukan anaknya. Betapa lama ia harus menunggu.
Pada suatu malam yang sepi, didengarnya langkah-langkah kaki mendekati pintu rumahnya. Ketika membuka pintu, tampaklah anaknya.
"Mengapa kau sudah kembali?" tanya ibunya tanpa tersenyum. "Apa kau sudah mempelajari semua yang harus dipelajari? Sudah siap menghadapi ujian?"
Can Syek Bong tertegun mendengar pertanyaan beruntun dari ibunya.
"Ibu, berpuluh kilometer sudah aku tempuh untuk kemari dengan berjalan kaki. Aku letih dan lapar, Bu," sahut anaknya itu.
Walau sudah rindu, ibunya tetap tidak menunjukkan rasa rindunya. Ia kembali bertanya, "Apa semua pelajaran dalam sepuluh tahun, bisa kau pelajari hanya dalam waktu lima tahun?"
"Aku sudah banyak belajar, Bu!" seru Can Syek Bong, "Aku hanya pulang lebih cepat dari yang Ibu tentukan."
"Masuklah dan akan kamu buktikan," kata ibunya.
Ibunya menyuruh Can Syek Bong duduk. Ia memberi satu kuas, tinta cina dan kertas. "Buatlah lukisan sepuluh huruf pertama," kata ibunya.
"Kamu harus mampu menulisnya dalam gelap, seperti Ibu mampu membuat serabi dalam gelap. Kamu menulis sementara Ibu membuat serabi."
Tak lama, ibunya muncul dengan baki di tangan berisi beberapa kue serabi yang harum baunya. Ibunya menyalakan lampu dan melihat tulisan anaknya yang tidak rapi dan tidak teratur.
"Lihat kue serabi buatan Ibu," kata ibunya pada Can Syek Bong. Si anak melihat kue buatan ibunya yang halus dan sama besarnya.
"Kembalilah ke Kota Kaesong. Dan pulanglah setelah engkau mempelajari apa yang harus engkau pelajari. Engkau harus memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya," kata ibunya sambil tersenyum dan memegang bahu anaknya.
Walau lelah, Can Syek Bong terpaksa kembali ke Kota Kaesong. Berbekal beberapa butir kue serabi buatan ibunya. Alangkah sedih hati anak itu.
"Mengapa Ibu begini kejam padaku? Apakah Ibu tidak sayang padaku?" tanyanya dalam hati.
Ketika pagi tiba, ia membuka bekalnya untuk memakan kue serabi. Dikaguminya kue serabi buatan ibunya. Lembut, sama bentuk, dan harum baunya. Can Syek Bong merasa malu.
"Ibu dapat menjalankan pekerjaannya di dalam gelap gulita. Tetapi aku tidak. Tidak salah jika Ibu menyuruh aku kembali ke kota Kaesong. Masih banyak yang harus aku pelajari di sana. Agar aku berhasil menjadi orang seperti ibuku yang pandai membuat serabi," pikirnya pula.
Dimakannya kue serabi itu dengan nikmat. Lalu ia melanjutkan perjalanannya.
Lima tahun tidak terasa berlalu sudah.
Suatu malam sang Ibu mendengar suara langkah kaki di depan pondoknya. Dibukanya pintu dan tampaklah Can Syek Bong di muka pintu. Walau terlihat lelah, wajahnya penuh kegembiraan.
"Sekarang aku sudah menguasai semua ilmu itu, Ibu!" serunya.
"Masuklah dan akan engkau buktikan," kata ibunya.
Diberinya anaknya kertas, tinta dan kuas. Lampu dipadamkan. Belum sempat ibunya menemui anaknya, terdengar panggilan.
"Ibu, lampu dapat Ibu nyalakan," seru Can Syek Bong.
Di bawah sinar lampu diperiksanya tulisan anaknya. Semua cantik dan sama rata, tak ada yang jelek atau miring.
“Tulisanmu bagus, anakku...." kata sang Ibu.
Can Syek Bong terharu, lalu sujud menyentuh kaki ibunya. Keduanya bertangis-tangisan karena rasa rindu dan haru setelah berpisah.
Tahun demi tahu berlaiu. Can Syek Bong menjadi sarjana yang sangat termasyhur. Dan bila ada yang bertanya bagaimana ia bisa menjadi begitu pandai, ia akan selalu menjawab, “Karena kue serabi yang dibuat ibuku di dalam gelap gulita. Itulah yang membuat aku berhasil seperti sekarang ini."
Sumber: Arsip Bobo.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR