Di Desa Pekasih, tinggal seorang lelaki tua yang sebatang kara. Pak Karjo namanya. Pak Karjo seorang petani yang tekun bekerja. Ia memiliki sebidang pekarangan luas yang digarapnya dengan kerja keras. Pekarangan itu ditanami sayur-mayur dan buah-buahan. Pada musim panen sebagian hasil kebunnya dibagibagikan ke tetangga, sedang sisanya dijual ke pasar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pak Karjo yang sudah tua mulai sakit-sakitan. Tapi karena biasa bekerja, ia enggan berbaring seharian di atas ranjang. Ia kembali ke kebunnya dan menanam sebatang pohon mangga.
Tetangganya yang bernama Pak Grutu mencibir.
"Dasar serakah, sudah sakit-sakitan tetap saja bekerja! Jangan-jangan dia mau menimbun harta. Huh...dia kira uangnya bisa dibawa mati, apa?"
Pak Karjo hanya tersenyum menanggapi sindiran tetangganya itu. Ia tetap rajin merawat kebunnya. Terutama pohon mangga yang baru ditanamnya itu. Pohon itu disiram dan dipupuk secara teratur.
Hingga suatu hari Pak Grutu melintas di kebunnya. Pak Grutu heran melihat Pak Karjo yang kian hari kian giat bekerja. Ia menegur Pak Karjo, "Untuk apa, sih, bersusah payah menanam pohon mangga, Pak Karjo? Bapak, kan, sudah tua, dan sakit-sakitan. Pasti masih lama menunggu pohon mangga itu tumbuh dan berbuah. Belum tentu Bapak nanti dapat menikmatinya!"
Seperti biasa, Pak Karjo hanya tersenyum.
"Pohon ini saya tanam bukan untuk saya sendiri Pak Grutu. Tetapi untuk anak cucu!" jawab Pak Karjo bijak.
Pak Grutu bertambah bingung. Bukankah Pak Karjo tak punya keturunan? Sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun silam, Pak Karjo hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Pak Grutu menggeleng-geleng kepala keheranan. Beberapa bulan kemudian, sakit Pak Karjo bertambah parah. Akhirnya ia meninggal dunia. Seluruh penduduk desa merasa kehilangan Pak Karjo yang ramah dan sederhana itu.
Tahun demi tahun berlalu, Pohon Pak Karjo tumbuh besar dan berbuah lebat. Dahan dan rantingnya yang merunduk menjulurkan manggamangga yang ranum dan lezat. Para penduduk desa berebut ingin mencicipinya, hingga akhirnya mangga-mangga itu dibagikan sama rata. Tapi anehnya, buah itu tak pernah habis walau terus-menerus dipetik. Bahkan beberapa warga membuatnya untuk manisan dan dijual di pasar.
Sama seperti penduduk desa lainnya, anak dan cucu Pak Grutu juga sangat menyukai buah mangga Pak Karjo. Tapi setiap kali mendapat jatah mangga, Pak Grutu menggelengkan kepala.
"Aku tidak suka buah mangga, cuma membuat sakit perut saja!" katanya dengan wajah cemberut seperti biasa.
Suatu ketika salah seorang anak Pak Grutu membuat masakan istimewa. Bu Grutu mengajak keluarganya makan siang sambil menggelar tikar di bawah pohon mangga Pak Karjo yang rimbun dan teduh. Pak Grutu menolak.
"Banyak hantu di sana!" ujarnya beralasan.
Diam-diam Pak Grutu mengintip dari balik jendela. Istri dan anak-anaknya tampak asyik makan siang di bawah pohon mangga sambil ngobrol. Sementara cucu-cucunya berlarian dan bermain-main dengan riang gembira.
Dalam hati Pak Grutu merenung. Ternyata kerja keras Pak Karjo tak sia-sia. Seluruh penduduk desa dapat merasakan hasilnya, termasuk anak dan cucu Pak Grutu sendiri. Walau Pak Karjo tak punya keturunan, tapi ia menganggap seluruh generasi muda di desa itu sebagai anak dan cucunya. Ternyata hingga akhir hayatnya Pak Karjo masih menanam amal kebajikan. Buah kerja kerasnya tak habis-habis dipetik sampai sekarang. Bahkan mungkin dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Pak Grutu menatap sekeranjang mangga di atas meja. Ah, tampak menggiurkan! Pak Grutu mencicipi sebuah. Hmm,... rasanya manis menyegarkan. Pak Grutu mengupas sebuah mangga lagi.Tapi tiba-tiba
"Lo, Pak, katanya tidak suka mangga?" Bu Grutu muncul di muka pintu. Pak Grutu gelagapan.
"Eh... anu, cuma mencicipi."
"Lo, mencicipi koksampai dua biji?" sindir Bu Grutu sambil membenahi biji mangga yang masih berserakan. Ia hendak membuang biji-biji mangga itu.
"Eit, bijinya jangan dibuang, Bu. Biar nanti kutanam di pekarangan!"
"Buat apa menanam biji mangga Pak? Bukankah masih lama menunggu pohonnya tumbuh dan berbuah. Lagipula belum tentu kita dapat menikmati hasilnya!"
"Buat anak cucu, Bu!" teriak Pak Grutu seraya membawa biji mangga. Diraihnya cangkul yang tergantung di dinding dapur menuju pekarangannya. Bu Grutu cuma menatap suaminya bingung sambil garuk-garuk kepala.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
10 Dampak Negatif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR