Pagi itu di terminal, untuk pertama kalinya Tania pergi jauh tanpa ditemani kedua orang tuanya. Sebenarnya, Bapak bersikeras ikut, tetapi Tania tidak tega Ibu yang sedang sakit ditinggalkan di rumah bersama Nana kecil. Lagipula, uang tiket bus, lebih baik dipakai beli obat untuk Ibu saja. Begitu pikir Tania.
“Tidak apa-apa, Pak. Tania nanti diantar langsung sampai di depan asrama, kok,” kata Tania.
Bapak mengangguk. Tania tersenyum.
“Tania baik-baik, ya. Maaf Bapak dan Ibu tidak bisa antar. Ini disimpan, ya, Tan,” kata Bapak menyerahkan sebuah kotak. “Dibukanya di dalam bus saja,” kata Bapak lagi.
Tania mengangguk. Perpisahan ini berat untuk Tania. Ia baru akan bertemu ketika liburan sekolah, enam bulan lagi, itu pun kalau ada ongkos pulang.
Bapak sibuk berbicara dengan kernet dan supir bus yang merupakan teman akrab Bapak ketika menjadi supir bus dulu. Bapak pasti ingin memastikan kalau Tania sampai di asrama dengan baik.
“Tan, ini nomor telepon tetangga kita, Bu Sutiah. Kalau di sekolah boleh pinjam telepon, kabari Bapak, ya, Nak,” kata Bapak sambil menyerahkan selembar kertas.
Penumpang bus sudah diminta naik oleh kernet dan supir. Tania rasanya ingin menangis karena harus berpisah. Sekali lagi Bapak memeluk Tania.
“Kamu akan jadi anak pintar dan hebat, Tan. Bapak yakin!” kata Bapak. Tania mengangguk Ia sekuat hati menahan air matanya.
Sampai bus berjalan, Tania melihat Bapak melambaikan tangan dari atas motor tua yang digunakan Bapak untuk mengantar penumpangnya. Tania balas melambai sampai akhirnya bus semakin menjauh dan Bapak tak terlihat lagi.
Air mata Tania turun perlahan-lahan, membayangkan dirinya tinggal terpisah dengan keluarga kecilnya yang begitu hangat walau terkadang menahan lapar. Bapak dan Ibu akan selalu berusaha agar Tania bisa bersekolah. Mereka bekerja keras siang malam, panas maupun hujan. Mereka tak ingin Tania hanya jadi lulusan SD seperti Bapak dan Ibu.
Tania menarik nafas panjang dan mengusap air matanya dengan sapu tangan. Ia teringat akan kotak yang tadi diberikan Bapak. Tania membukanya perlahan. Disana ada sebuah boneka lucu, sebuah surat, dan beberapa lembar lima puluh ribuan.
“Ini pasti tabungan Ibu dan Bapak,” kata Tania.
Ia membuka surat itu dan terlihat tulisan agak berantakan yang ia kenali sebagai tulisan Nana.
Tangis Tania jatuh lagi tetapi sekarang tangis bahagia. Ia merasa mendapatkan kasih sayang yang begitu tulus.
Tania begitu bersemangat untuk memulai kegiatan di sekolahnya yang baru. Ia memeluk boneka itu erat sekali, seperti memeluk Nana, Ibu, dan Bapak sebelum berangkat tadi. Boneka itu akan jadi teman yang memberi semangat pada Tania. Boneka yang dibuat setulus hati oleh Ibu dan Nina, dan pasti bahan-bahannya dari pasar tempat Bapak bekerja. Semuanya menyatukan ketulusan hati hingga rasa sayangnya sampai juga ke hati Tania.
----
Tania menatap boneka yang sedari tadi ada di pojok tempat tidurnya. Tania memberi nama Boneka itu Bipi. Sudah empat bulan Bipi menemaninya di Asrama. Mulai dari belajar, tidur, hingga mengungkapkan kerinduan pada keluarganya di rumah.
Ketika melihat Bipi, Tania melihat senyum Bapak, Ibu, dan Nana. Disana ada juga perjuangan Bapak, Ibu, dan ketulusan Nana. Semuanya membuat Tania bersemangat. Dua bulan lagi liburan tiba, Tania berharap bisa pulang untuk bertemu Ibu, Bapak, dan tentu saja adiknya Nina.
Cerita dan Foto: Putri Puspita | Bobo.ID
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR