Luna melirik jam tangannya dengan tak sabar. Sebentar-bentar dia menjulurkan kepalanya di antara rombongan anak-anak sekolah yang berhamburan keluar.
"Uuuh, mana sih si Ota!" gerutu Luna agak kurang sabar. Luna menghembuskan napasnya dengan bosan. Jelas Luna kesal. Ota, adik Luna, sudah terlambat lima belas menit lebih dari waktu yang dijanjikan. Luna memandang berkeliling.
Saat itulah dia melihat seseorang yang menarik perhatiannya. Seorang murid kelas 4 SD. Laki-laki, berkacamata tebal, kurus, dan tampak sangat murung. Namanya Gian, kalau Luna tak salah ingat.
Gian melangkah melintasi Luna sambil tangannya mendekap setumpuk buku di dada. Matanya menatap tanah. Seperti tak ingin seorang pun menyadari kehadirannya. Tiba-tiba... sehelai kertas melayang jatuh dari antara buku yang didekap Gian. Mata Luna menangkapnya. Luna kaget. Cepat-cepat dia berlari menyambar kertas itu.
"Gian! Tunggu!!!" seru Luna hendak mengejar Gian.
Namun Luna terhenyak. Seketika niatnya mengembalikan kertas itu sirna saat dia membaca tulisan di atas kertas itu.
Sebuah Surat Perpisahan
Ini adalah sebuah surat perpisahan. Karena hidup ini sangat tidak enak. Aku akan pergi buat selama-lamanya. Besok. Ke tempat yang tak seorang pun bisa mencari. Daripada orangtuaku tak mau mengakui aku sebagai anaknya. Selamat tinggal. Semoga tidak ada yang menyesal.
"Astagaaa!! Ini... Ini... Ini benar-benar gawat!" seru Luna sambil menutupi mulutnya dengan sangat terpukul. Dan Luna pun berlari pergi dari situ. Tanpa mengingat lagi dia masih harus menunggu Ota.
***
"Reseh! Reseh! Reseh! Ditungguin dari tadi malah udah ke sini duluan!" Luna mengomel sambil mencubiti tangan Ota yang gempil dengan gemas di atas rumah pohon Taras.
"Aaaah, Kak Luna tuh yang reseh," Ota malah balas mengomel. "Aku kan lapar, Kak. Dan ternyata kelasku boleh bubar lebih cepat. Jadi aku terpaksa datang duluan ke sini." Ota meraup keripik kentang dimangkuk dan melahapnya dengan nikmat.
"Ota... Ota...itu sih bukannya terpaksa! Tapi emang maunya!" celetuk Kiria sambil tertawa geli.
"Sudah! Sudah! Ini gawat banget, nih!" sela Taras.
Sepasang matanya yang tersembunyi di balik kaca mata menatap surat di tangannya itu dengan sangat serius. Taras mengusap dagunya dengan tangan. Tanda dia berpikir dengan keras.
"Enggak perlu kita tunda lagi! Mulai besok kita harus menguntit anak bernama Gian ini kemana saja dia pergi!" tandar Taras.
Geng LOTRIA yang lain berpandangan. Lalu serempak mereka pun berseru, "SETUJUUUUU!!!" sampai Taras terpaksa menutup kedua telinganya dengan tangan.
Geng LOTRIA benar-benar melaksanakan niatnya. Semenjak hari itu, mereka menguntit kemana pun anak cowok itu pergi. Mulai dari ke kelas, ke perpustakaan, ke kamar mandi (tentunya ini tugas Ota), ke perpustakaan, ke kantin, ke perpustakaan, ke kelas, sampai akhirnya Gian berjalan pulang ke rumahnya.
Melalui penyelidikan yang mereka lakukan, Geng LOTRIA sudah berhasil mendapatkan alamat rumah Gian. Makanya mereka pun panik berat ketika mendapati Gian malah berbelok di jalanan yang berlawanan dengan arah rumahnya.
"Gimana nih, Kak?" bisik Ota pada Luna. Mereka menguntit Gian dalam jarak tiga puluh meter. Luna juga tampak cemas.
Tadinya, Luna sudah membuat janji dengan Kiria. Mereka akan bertukar posisi penguntitan setelah tiba di pagar rumah Gian. Kiria akan pura-pura main ke rumah Gian agar bisa melanjutkan penguntitan mereka.
"Enggak ada jalan lain, Ta! Kita harus tetap ikuti dia!" putus Luna akhirnya.
Ota cuma bisa tersenyum kecut. Kemudian mereka cepat-cepat melangkah untuk memburu Gian yang mulai menjauh. Gian berjalan dengan sangat cepat.
"Haduuuh... haduh... Ota capek, Kak!" kaki Ota yang tak begitu panjang mulai terasa pegal. Ota mengelap peluhnya yang bercucuran.
"Tahan sedikit. Kita harus terus mengikutinya, Ta!" Luna berusaha menyemangati Ota, walaupun dia pun tampak mengernyit menahan teriknya sinar matahari.
Di depan sebuah kantor pos, Gian tiba-tiba berbelok. Lalu dia pun menghilang.
"Kok... Malah ke kantor pos?" tanya Ota bingung.
"Gawat! Berarti enggak salah lagi!" Luna memukul telapak kirinya dengan kepalan tangan kanannya.
Ota menatap Luna dengan bingung. Sama sekali tak mengerti arah pembicaraan Luna.
"Gian pasti mau bunuh diri!"
"Haaah???!!!" mata Ota langsung membeliak tak percaya. "Aaah, Kak Luna jangan aneh-aneh! Gian kan masih kecil. Masa kepikir sampai kayak begitu, sih?"
"Bisa saja, Ota," bantah Luna. "Zaman sekarang kan banyak anak kecil kelewat sering nonton acara kriminal. Jadi pikiran pun aneh-aneh. Makanya Mama selalu melarang kita menonton acara-acara mengerikan seperti itu! Lagian... Sebenarnya, kemarin Kiria dan Taras pun sudah menduga begitu. Tapi mereka masih belum yakin. Sekarang, terbukti sudah! Mau apalagi dia ke kantor pos kalau bukan untuk mengirimkan surat terakhir itu pada orang tuanya? Setelah itu, dia pasti akan pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan mengerikan itu!"
Ota cuma bisa manggut-manggut mendengarkan analisa Luna yang panjang dan meyakinkan itu.
"Jadi kita harus gimana, Kak?" tanya Ota bingung.
"Karena kita sudah yakin dengan kesimpulan itu, kita enggak usah buang waktu lagi! Yuk! Kita langsung masuk! Kita cegah dia mengirimkan surat itu dan kita nasihati dia!"
"Tapi..."
Belum selesai Ota menjawab, Luna sudah melompat masuk ke dalam kantor pos.
"Kaaakk! Tunggu, dong!" pekik Ota yang masih tetap saja tak terbiasa dengan kegesitan gerakan kakak satu-satunya itu.
***
"Giaaaan!" Luna berteriak lantang tepat saat Gian berdiri di bagian depan loket pengiriman surat.
Gian menoleh. Keningnya langsung berkerut. Seolah-olah dia merasa Luna salah memanggil. Sebab, anak sependiam Gian memang tak mungkin mengenal seorang kakak kelas di sekolahnya seperti Luna.
"Gian! Aku Luna, kakak kelasmu. Kamu enggak boleh lakukan itu! Kamu enggak boleh kirimkan surat perpisahan itu! Ayo! Kita bicarakan dulu semuanya!" seru Luna bertubi-tubi dengan panik dan cemas.
Gian semakin bingung.
"Gian, kamu enggak boleh putus asa. Orang tuamu pasti masih sayang padamu," Ota yang baru menyusul masuk langsung berceloteh dengan gaya sok dewasa, walaupun napasnya masih ngos-ngosan.
"Kita batalkan saja surat ini, ya!" tegas Luna sambil menyambar amplop cokelat yang tergeletak di meja loket. Namun Luna langsung tertegun.
Luna mengamati amplop cokelat itu, kemudian menggoyang-goyangkannya. "Ini... Kok... Surat ini tebal amat?"
"Ya tebal, dong! Namanya juga Novel. Mau kukirimkan ke penerbitan. Siapa tahu lolos. Kan sekarang anak kecil pun banyak yang sudah menerbitkan novel. Memang kenapa Kak aku enggak boleh ngirim novelku?
Memang Kak Luna tahu pasti, kalau novelku akan ditolak ya?" Gian menatap Luna dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar cemas dan putus asa di balik kacamatanya yang tebal.
Ooh... Oooh... Luna sekarang baru mengerti. Dia cepat-cepat mengeluarkan secarik surat perpisahan di saku celananya dan menunjukkannya pada Gian.
"Jadi, ini... cuma bagian dari novel-mu?"
Gian kini malah terbelalak. "Ya ampun! Ternyata halamannya terlepas satu! Aku enggak sadar. Soalnya aku enggak mengeceknya lagi semalam! Untung tak jadi kukirim! Terima kasih ya, Kak!" Gian pun menatap Luna sambil tersenyum lebar penuh terima kasih.
Luna cuma bisa meringis sambil menggaruk-garuk kepala karena salah tingkah. Ota langsung menarik Luna merunduk dan berbisik kepadanya, "Makanya, Kak, jangan keburu napsu. Sekarang siapa hayo yang kebanyakan nonton tayangan kriminal?"
Luna cuma bisa merengut kesal.
Oleh: Alexandra L.Y.
Dok. Majalah Bobo
Tomat-Tomat yang Sudah Dibeli Bobo dan Coreng Hilang! Simak Keseruannya di KiGaBo Episode 7
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR