Ada yang unik di kampungku ini. Bahkan tak bisa dijawab oleh para guru di sekolah. Mereka hanya bilang,”Itu sudah jadi kerpercayaan di kampung nelayan ini.”
Jawaban itu tidak membuatku begitu saja menerima. Bagaimana bisa kita bertemu dengan orang yang hilang di laut lewat cermin?
Bangun pagi-pagi, cahaya matahari akan memantul ke sana ke mari karena melewati cermin. Percaya atau tidak, cermin-cermin ini digantung banyak sekali di pohon-pohon, di depan rumah, dan di mana saja.
“Bu, Obi lapar,” kataku.
“Wah sini-sini! Ikannya baru saja matang,” kata Ibu dengan bersemangat.
Kami tak pernah kekurangan ikan, namanya saja nelayan. Tinggal memancing, ikan pun dapat diperoleh, dimasak, lalu dimakan.
“Pak, yuk, makan,” ajakku pada Bapak yang sedang asik memperbaiki jaring.
“Yaya… Bapak ke sana,” katanya ceria.
Kami makan bersama setiap pagi, sebelum aku ke sekolah. Bapak beristirahat sepulang melaut, dan Ibu mengolah ikan menjadi abon untuk dijual. Kami bertiga berbagi cerita sangat banyak setiap pagi karena hanya pagi yang membuat kami bisa bertemu lengkap.
“Kamu sekolah yang rajin ya, supaya besar bisa bahagiakan Ibu,” kata Bapak.
“Dan bahagiakan Bapak juga…” sambungku sambil memakai tas. Setelah salim dengan Ibu dan Bapak, aku berangkat ke sekolah.
Hari ini harusnya aku latihan sepak bola dengan teman-teman di sekolah. Namun, tiba-tiba aku merasa malas dan ingin pulang saja. Aku katakan bahwa aku tidak enak badan dan harus beristirahat. Saat itu, yang ada dipikiranku adalah aku ingin sekali bisa melihat Bapak sebelum ia berangkat melaut.
Sesampainya di rumah, aku mendapati rumah sepi. Ibu pasti sedang menjual abon ikan ke warung dan Bapak biasanya mengobrol di rumah temannya. Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 16.00. Aku memutuskan untuk mandi.
Suara nyanyian Ibu membangunkanku.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR