Di suatu desa di Jepang ada dua gadis cantik. Namanya, Midori dan Keiko. Mereka berdua bersahabat dan bertetangga. Setiap hari kedua gadis itu mengerjakan tugas rumah tangga dengan rajin. Bila sempat, keduanya menyulam sambil bercakap-cakap. Kadang mereka pergi ke sebuah bukit, duduk di bawah pohon dan menyaksikan pemandangan alam yang indah dan menyanyi.
Suatu hari, Midori dan Keiko pergi ke kota. Di kereta api, mereka duduk dekat seorang wanita tua.
“Nona-nona manis, aku bisa meramal nasib. Mari kuramal nasib kalian!” kata wanita tua itu.
“Ah, tak usahlah!” kata Keiko dengan enggan.
“Biarlah. Hanya untuk iseng-iseng saja, kok. Ibu, ramalkan nasib kami berdua, tetapi jangan satu per satu. Kalau ada sesuatu yang bagus akan kami ingat-ingat. Kalau jelek, akan kami lupakan,” kata Midori dengan rasa ingin tahu.
Maka, wanita itu pun mengambil kartu-kartu dan meminta mereka mengambil masing-masing tiga helai.
Setelah itu, keenam kartu yang mereka pilih dikocok dan digelar
“Aku melihat ada kesempatan emas. Ada wanita yang disanjung, ada wanita yang iri hati, wanita yang wajahnya rusak, dan ada wanita yang menderita di penjara,” ramal wanita itu.
Keiko dan Midori berpandangan.
“Apa pun yang akan kita alami dalam hidup, jangan sampai persahabatan kita pecah,” kata Keiko.
“Ya,” jawab Midori. Matanya menerawang.
“Hei, apa yang kau lamunkan?” tegur Keiko.
“Aku memikirkan kesempatan emas yang terbentang di hadapan kita,” kata Midori.
“Sabar, nona-nona. Di kota besar, banyak kesempatan emas. Manfaatkan saja sebaik-baiknya,” pesan wanita tua itu sebelum turun.
Di kota, kedua gadis itu berjalan-jalan. Mereka melihat pengumuman Pemilihan Gadis Tercantik Sekota.
“Mungkin ini kesempatan emas yang dimaksud!” kata Midori dengan semangat. Akhirnya mereka memutuskan untuk ikut serta.
Maka, persiapan pun dilakukan. Keduanya sibuk menjahit kimono yang indah, merawat rambut serta kulit mereka yang memang sudah halus. Pada hari yang ditentukan, kedua gadis itu dan para peserta lainnya berlomba. Ternyata Midori menang. Midori mendapat banyak hadiah, bahkan ia diminta menyanyi.
Selesai menyanyi, orang-orang bertepuk tangan dengan meriah. Seusai acara, Midori diminta untuk bekerja sebagai penyanyi di sebuah restoran dan mendapat imbalan yang tinggi. Beberapa perusahaan iklan juga memintanya untuk menjadi model iklan. Hari demi hari, Midori sibuk dengan urusan di kota. Bahkan ia hanya pulang sekali seminggu. Itu pun kadang ia tak mengunjungi Keiko. Alasannya capek, mau beristirahat. Keiko pun bosan datang ke rumah Midori dan mendengarkan cerita-cerita keberhasilan Midori dan indahnya kehidupan di kota, sementara ia sendiri kesepian di desa.
Keiko juga merasa kehilangan sahabat. Rasa iri hati mulai timbul. Kenapa Midori demikian beruntung? Bukankah ia juga cantik? Dalam hati, Keiko mulai tidak suka pada sahabatnya. Bahkan terlintas dalam pikirannya untuk merusak wajah Midori! Namun, ia sendiri terkejut dengan pikiran buruk itu.
“Mungkin yang dimaksud peramal itu adalah aku akan merusak wajah Midori dan kemudian aku masuk penjara!” pikir Keiko. Ih, Keiko tak mau masuk penjara.
Keiko pergi ke rumah neneknya dan menceritakan masalahnya. Keiko disarankan untuk menggunduli rambutnya dan tinggal tiga bulan di kuil untuk belajar membersihkan hati dan pikiran.
Keiko bersedia melakukan hal itu. Tiga bulan kemudian, ia kembali ke rumahnya. Hatinya diliputi ketenangan dan kasih sayang.
Minggu itu, Midori datang menemuinya.
“Aku masih menyanyi di restoran. Ada dua pemuda yang mencintaiku. Mereka bersaing memberiku hadiah,” kata Midori.
“Pilihlah salah satu. Jangan mempermainkan hati orang,” sahut Keiko.
“Kalau kupilih satu, berarti aku kehilangan hadiah. Keduanya anak orang kaya!” kata Midori.
“Kamu dikuasai keserakahan akan harta benda. Itu berbahaya,” nasihat Keiko.
“Kamu mengatakan itu karena kamu belum merasakan senangnya memiliki banyak benda yang indah,” tukas Midori.
Seninnya, Midori berangkat lagi ke kota. Pada hari Selasa, Keiko mendapat berita bahwa Midori dirawat di rumah sakit. Kedua pemuda yang mencintainya berkelahi di restoran dan Midori berusaha melerai, tetapi pipinya malah terluka.
Seminggu lamanya Midori dirawat di rumah sakit. Kemudian ia pulang ke desa. Luka di pipinya meninggalkan bekas, ia tak bisa lagi menjadi penyanyi. Ia juga kehilangan kedua kekasihnya.
Keiko berusaha menghiburnya. Mereka menyulam lagi, pergi ke bukit, dan menyanyi. Namun, hati Midori tetap sedih. Bahkan, ia iri melihat Keiko yang berwajah sempurna.
Suatu hari, mereka membicarakan tentang ramalan wanita itu.
“Aku percaya pada ramalan wanita itu. Kesempatan emas kudapatkan, wajahku rusak, dan aku iri hati padamu. Kini,aku bertanya-tanya apakah aku akan masuk penjara juga,” kata Midori.
“Tidak, Midori. Nasib berada di tangan kita sendiri. Ketika kamu sedang menikmati sukses di kota, akusangat kesepian dan merasa iri hati. Iri hati itu sangat menguasaiku. Ingin rasanya aku merusak wajahmu. Namun, akibatnya pastilah aku masuk penjara. Karena itu aku menggunduli rambutku dan belajar membersihkan hati dan pikiran,” demikian pengakuan Keiko.
“Bagiku, itu suatu kesempatan emas.Belum pernah aku berbahagia seperti sekarang.” Midori termenung.
Akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan hati dan pikirannya. Waktu terus berlalu. Keiko dan Midori tetap bersahabat. Mereka mendapat kesempatan emas yang lebih berharga, yaitu menjadi pekerja sosial.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR