Di suatu desa, hiduplah seorang petani bernama Wang. Ia tinggal dengan ibunya dan istrinya, Mei. Setiap pagi, Wang berangkat ke sawah, sementara Mei melakukan tugas rumah tangga di rumah.
Walaupun Mei bekerja dengan rajin, mertuanya sering memarahinya. Ada-ada saja alasan ibu mertua itu untuk menyalahkan Mei. Namun, Mei bersabar saja karena ia mengasihi Wang.
Suatu hari ketika Wang pulang ke rumah, ia tidak menjumpai istrinya. “Di mana Mei, Ibu?” tanya Wang dengan cemas.
“Istrimu tidak pandai mencuci baju. Bajuku masih kotor, walaupun sudah dicuci. Kusuruh ia mengambil air di mata air untuk mencuci ulang bajuku!” jawab ibu Wang.
“Besok, kan, masih bisa. Kasihan, Mei sudah capek. Lagi pula berbahaya wanita pergi sendiri ke mata air. Kadang-kadang ada sekelompok kera datang ke sana!” kata Wang. “Sekarang akan kususul.”
“Biarkan saja. Kamu terlalu memanjakan istrimu,” ibu Wang bersungut-sungut.
Akan tetapi, Wang tetap berangkat. Di mata air ada dua ember kayu dan pikulan, tetapi tidak ada Mei. Sementara itu apa yang dialami Mei? Sore itu, Mei berangkat dengan punggung sakit. Di mata air ia duduk sejenak melepaskan lelah. Tiba-tiba tercium bau yang aneh. Mei sangat gugup saat melihat seekor harimau siap menerkamnya.
Mei pun lari meninggalkan ember dan pikulannya. la berlari jauh ke dalam hutan. Untunglah seekor kijang melintas dan si harimau menerkam kijang itu. Mei lolos dari bahaya. Saat itu ia sudah sampai di suatu dataran terbuka.
Di situ ada pepohonan dan sebuah mata air dengan air menggelegak berwarna merah jambu jernih. Mei yang sudah sangat lelah, duduk di bawah pohon, dan meminum dari mata air itu. Rasanya amat menyegarkan. Mei kembali merasa kuat.
la berjalan lagi sampai ke rumah yang tak jauh dari situ. Seorang perempuan tua menyambutnya dengan ramah dan mengizinkannya menginap di situ.
Akan tetapi, ketika ia melihat leher Mei, dengan cemas ia berkata, “Celaka. Di lehermu ada bulatan merah jambu. Itu disebabkan kamu minum dari mata air milik raksasa berjenggot merah jambu. Ia akan membawa setiap wanita yang minum dari mata airnya ke puncak gunung dan menjadikannya istrinya.”
Betul, tiba-tiba terdengar suara berdebum dan muncullah si raksasa dari arah belakang rumah. Dengan mudah ia memanggul Mei bagaikan anak kecil menggendong boneka. Sementara itu, Wang terus masuk ke hutan dan akhirnya tiba juga di rumah perempuan tua itu. Hari sudah gelap.
Perempuan tua itu memberitahu bahwa Mei dibawa raksasa ke puncak gunung.
Dengan teguh hati, Wang meminjam kuda perempuan tua itu untuk pergi ke istana raksasa. Esok lusanya, ia bertemu dengan raksasa berjenggot merah jambu itu. Dengan segera,ia menyatakan keinginannya menjemput Mei. Raksasa membawa Wang ke taman.
“Kau mencari istrimu? Pilihlah sendiri!” seru sang Raksasa sambil menepukkan kedua tangannya.
Tiba-tiba 12 wanita yang serupa Mei muncul dan berdiri tegak bagaikan patung. Wajah, bentuk badan, dan pakaiannya sama.
Wang memperhatikan 12 wanita itu dengan saksama. Ia menunjuk wanita yang nomor tujuh sambil berkata, “Yang itu istriku. Matanya berlinang air mata. Hanya ia yang berperasaan halus. Ia menangis karena melihat aku datang mencari dia!”
Raksasa itu bertepuk tangan sekali lagi dan 12 wanita itu bertukar tempat dengan cepat dan semuanya membelakangi Wang.
“Kamu sudah mengenali istrimu dari depan. Sekarang, pilihlah yang mana istrimu,” kata raksasa.
Wang terdiam sesaat. Sungguh sulit memilih istri dari belakang. Semuanya serupa.
Kemudian Wang menyentuhkan jari-jarinya pada setiap punggung wanita itu. Tiba-tiba wanita nomor 11 mengaduh lirih ketika disentuh.
“Inilah istriku. Punggungnya luka dan sulit sembuh,” kata Wang. “Sedikit saja disentuh, ia sudah kesakitan.”
Raksasa itu bertepuk tangan lagi dan semua wanita lenyap, kecuali Mei.
“Aku sangat menghargaimu. Kamu mau bersusah payah mencarinya dan sangat mengasihi dia. Karena itu, istrimu akan kukembalikan. Jagalah dia baik-baik, jangan biarkan ibumu menyakiti dia!” kata raksasa.
Wang dan Mei berpamitan pada raksasa dan dengan berkuda mereka kembali ke rumah perempuan tua itu. Sesudah mengembalikan kuda dan mengucapkan terima kasih, mereka pulang ke rumah.
Setiba di rumah, mereka sangat terkejut karena Ibu Wang terbaring sakit. Wajahnya dicakar kera dan ia mengaduh kesakitan karena punggungnya luka-luka. Ibu Wang mengusir mereka dengan pikulannya. Namun, seekor kera besar merebut pikulan itu dan memukuli punggung ibu Wang. Sekarang ia tahu rasanya bagaimana rasanya dipukuli dengan tongkat.
Wang dan Mei mengobati Ibu Wang. Setelah sembuh, ia tidak berani lagi memukul Mei. Wang dan Mei pun hidup dengan tenteram dan bahagia.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR