Dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang memiliki tiga anak laki-laki yang tampan. Mereka sangat miskin dan kadang tidak bisa membeli makanan. Ketiga anaknya akhirnya memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota lain.
Sebelum berangkat, sang ibu memberi mereka bekal roti. Ketiga anak itu lalu berangkat menuju kota lain.
Anak bungsu dari tiga bersaudara itu bernama Ferko. Ia pemuda yang sangat tampan. Matanya biru dan tubuhnya tinggi tegap. Kedua kakaknya, Irgi dan Bunos, iri padanya.
“Nasib Ferko pasti jauh lebih beruntung dibanding kita. Dia tampan, bertubuh tegap dan sangat penurut!” bisik Irgi pada Bunos.
“Kita bisa sial kalau selalu bersama Ferko. Dia tidak boleh ikut bersama kita. Dia bisa mencuri keberuntungan kita,” bisik Bunos.
Tak lama kemudian, matahari bersinar sangat terik. Mereka bertiga beristirahat di bawah pohon rindang. Ferko langsung tertidur lelap, sementara kedua kakaknya terjaga dan menyusun rencana jahat. Bunos melihat ada daun-daun beracun yang tumbuh di dekat situ.
“Apa yang harus kita lakukan, supaya Ferko tidak menjadi saingan kita lagi?” bisik Irgi pada Bunos.
“Pertama, ayo kita habiskan rotinya! Kalau dia kelaparan, kita berikan sepotong roti kita. Tapi dia harus berjanji untuk mencuci wajahnya dengan rendaman air daun beracun itu!” bisik Bunos sambil menunjuk ke tanaman beracun di dekatnya.
Irgi melihat tanaman itu dan tersenyum girang. “Ha ha ha… Ide yang bagus!” tawanya.
Kedua kakak yang jahat ini lalu mengambil roti bekal dari tas Ferko. Mereka menghabiskan semua roti itu sementara Ferko masih tertidur nyenyak.
Ketika Ferko terbangun, ia merasa sangat lapar. Ferko membuka tasnya untuk mengambil roti. Kedua kakaknya pura-pura tertidur.
“Irgi, Bunos... apa kalian melihat bekal rotiku? Kenapa hilang dari tasku?” seru Ferko membangunkan kedua kakaknya.
Irgi dan Bunos pura-pura kesal dan marah.
“Mana aku tahu dimana rotimu! Jangan-jangan tertinggal di meja makan di rumah. Kau pasti lupa memasukkan ke dalam tasmu!” omel Irgi.
“Atau jangan-jangan, kamu mengigau dan makan sambil tidur!” tambah Bunos. “Pokoknya, jangan coba-coba minta jatah rotiku!”
Ferko bingung. Ia yakin telah memasukkan rotinya ke dalam tas. Ia juga tidak yakin bisa mengigau sambil makan dalam tidurnya. Tidak ada bekas remah roti di baju dan mulutnya. Namun, Ferko tidak berkata apa-apa. Ia pun berpuasa sampai pagi berikutnya.
***
Pagi pun tiba. Ferko terbangun dengan perut sangat lapar. Perutnya semakin melilit ketika ia melihat kedua kakaknya sedang asyik menikmati roti mereka.
“Irgi, Bunos, boleh aku minta sepotong roti kalian… Aku sangat lapar…” mohon Ferko.
Bukannya membagikan roti mereka, Irgi dan Bunos malah menertawakan Ferko. Mereka lalu memberikan sehelai daun mangkok besar berisi rendaman daun beracun.
“Hei, Ferko… Cucilah dulu wajahmu dengan air ini! Setelah tidak mengantuk, baru kau boleh makan bersama kami,” kata Bunos.
Maka tanpa curiga, Ferko mengambil daun mangkok itu, dan mencuci wajahnya dengan air di dalamnya.
“Aaa… periiih…” teriak Ferko ketika air itu mengenai matanya.
“Ha ha ha… tentu saja perih! Penglihatanmu juga akan jadi buram. Kau tak akan bisa ikut bersama kami ke kota!” kata Irgi penuh iri hati.
Kedua kakaknya itu segera meninggalkan Ferko sendirian. Ferko menangis karena tidak bisa melihat dengan jelas.
“Irgi, Bunos… jangan tinggalkan aku…” mohon Ferko sambil melangkah dengan kedua tangan terjulur ke depan. Ia melangkah sambil meraba-raba karena tak bisa melihat dengan jelas.
Sungguh malang nasib Ferko. Ia tak melihat jurang di depannya. Ia terus melangkah dan menginjak batu di tepi jurang. SRUUUK!
“Aaaa… “ Ferko terjatuh ke dalam jurang. Kedua lututnya sempat terbentur batu besar di tebing.
Ferko terus meluncur ke bawah. Untungnya, ada dahan kuat yang tumbuh di tebing jurang. BRUK! Tubuh Ferko tertahan dahan itu. Ferko menangis tersedu-sedu karena ketakutan sekaligus lega.
Kini, Ferko berusaha meraba-raba dahan dan dinding tebing di dekatnya. Samar-samar, Ferko bisa melihat sebuah gua di dekat situ. Maka pelan-pelan, Ferko merangkak menuju gua di dinding jurang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas. Kakinya pun tak dapat berjalan tegak karena lututnya cedera parah.
Matahari tinggi di langit. Ferko merasakan panasnya terik yang menghanguskannya. Ia mempercepat merangkak dengan kedua lengannya, menarik tubuhnya masuk ke dalam gua.
Akhirnya Ferko bisa masuk ke dalam gua. Ia berbaring lemas di lantai gua dan menikmati sejuknya udara. Kakinya terasa sakit dan matanya belum bisa melihat dengan jelas. Namun, telinganya bisa mendengar sebuah percakapan dari arah dahan pohon di dinding tebing.
“Apakah di daerah sekitar sini ada hal yang menakjubkan?” tanya gagak pertama.
"Tentu saja ada,” kata gagak kedua. “Di dalam gua itu, ada sesuatu yang tidak terdapat dimanapun di dunia ini. Di salam sana, ada sebuah kolam ajaib. Siapa pun yang mandi di dalamnya, bisa sembuh dari penyakit apa pun. Dan siapapun yang mengoles matanya dengan embun yang ada di rerumputan luar gua itu, matanya akan tajam seperti elang. Yang buta pun bisa melihat kembali!”
“Wah, terimakasih untuk kabar baik darimu!” ujar gagak pertama, “Mataku sehat, jadi tidak memerlukan embun itu. Namun, sayap kananku sangat lemah sejak terkena panah pemburu tahun lalu. Jadi, aku akan terbang masuk ke dalam gua itu. Semoga sayapku bisa pulih kembali,” kata gagak kedua.
Gagak kedua lalu terbang dengan sayapnya yang lemah, masuk ke dalam gua. Ia dan temannya melewati Ferko yang masih berbaring istirahat. Hati Ferko sangat gembira mendengar kabar dari gagak pertama tadi.
Dengan tidak sabar, Ferko berbaring di lantai gua, menanti subuh tiba. Ketika udara gua semakin dingin, Ferko yakin, pasti banyak embun yang turun di luar gua. Maka ia kembali merayap mencari rumput di mulut gua. Ia menggosokkan wajahnya ke rumput-rumput yang berembun itu. Terasa embun-embun itu masuk ke dalam matanya.
Sesaat kemudian, Ferko mencoba melihat ke kejauhan. Sungguh ajaib! Ia merasa pandangannya lebih jernih dibanding sebelumnya. Kini, Ferko kembali masuk ke dalam gua. Ia merayap dengan penuh semangat dan tanpa lelah, menuju ke kolam yang diceritakan kedua gagak.
Di tengah jalan di dalam gua, ia berpapasan dengan kedua gagak tadi. Gagak kedua tampak sudah bisa terbang dengan gagah. Ferko semakin bersemangat merayap.
Tak lama kemudian, Ferko sampai di tepi kolam di dalam gua. Air kolam itu berwarna biru indah. Pelan-pelan, ia memasukkan kedua kakinya ke dalam kolam. Ferko bisa merasakan kedua lutut kakinya menjadi lebih kuat. Di dalam kolam, ia bisa melangkah dengan lincah.
Ferko sungguh berterima kasih pada Tuhan karena mendapat nasib baik. Ia terjatuh, namun mata dan kakinya bisa disembuhkan berkat percakapan kedua gagak.
Kini Ferko mengisi botol minumnya dengan air penyembuh dari kolam itu. Ia lalu melangkah gagah keluar gua, dan melanjutkan perjalanannya.
Di tengah jalan di hutan, Ferko bertemu seekor serigala besar yang tampak buas. Matanya garang. Gigi-giginya runcing. Ferko sangat ketakutan. Ia siap-siap untuk berlari dari tempat itu. Namun…
“AUUU… “ terdengar lolongan serigala besar itu.
Ferko semakin ketakutan, namun suara lolongan itu terdengar lagi. Lolongannya terdengar sedih, seperti meminta tolong. Ferko jadi ragu untuk berlari pergi.
(Bersambung)
Teks: Rizki
Dok. Majalah Bobo
Source | : | Dok. Majalah Bobo / Folkore,Dongeng Hungaria |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR