“Pokoknya belikan aku tenda kemping seperti punya Galuh, Yah!” rengek Ajeng berulang kali.
Ayah cuma diam sambil terus membaca koran. Habis, Ajeng memang keterlaluan! Dia selalu minta apa saja yang dimiliki Galuh, anak tetangga depan rumahnya. Padahal Galuh jelas-jelas anak orang kaya. Papa dan mamanya bekerja. Lagipula Galuh anak satu-satunya. Orang tuanya sering membelikannya mainan yang mahal. Dan repotnya, adikku selalu merengek minta dibelikan mainan yang sama!
Bulan kemarin saja Ajeng ngambek minta dibelikan boneka Bratz, seperti yang Galuh punya. Cantik, berambut cokelat, bermata gelap, dan berbibir tebal tentunya. Padahal bagi Ayah yang pegawai negeri biasa, boneka itu bukan main mahal harganya.
Duh, Ayah jadi pusing dibuatnya. Dengan mengambil tabungan, akhirnya Ayah bisa membelikan boneka itu. Tapi sayang kan menghamburkan uang untuk sebuah boneka?
Sekarang Ajeng uring-uringan minta dibelikan tenda kemping parasut. Sudah beberapa hari ini Galuh memamerkan tenda itu pada kawan-kawannya, termasuk pada Ajeng. Sepulang dari rumah Galuh, Ajeng tak henti-hentinya merengek minta dibelikan tenda seperti itu. Huh, aku gemas campur jengkel jadinya.
“Buat apa beli tenda seperti itu?”
“Buat main kemping-kempingan, Mbak! Tuh, lihat, Galuh mengajak Agis, Neni, dan Ira main kemping-kempingan di depan rumahnya! Asyik, kan?”
Aku melongok keluar jendela.
Di halaman depan rumahnya yang luas, Galuh menggelar tenda di balik pagar. Tenda parasut mungil itu berwarna merah muda. Tampak beberapa anak kecil sebaya Ajeng bermain bersama.
“Kenapa enggak main bareng aja?”
Lama Ajeng terdiam. Tapi akhirnya dia mengaku juga, “Aku lagi marahan sama Galuh!”
“Itulah ruginya kalau sering marahan!” gumamku sambil memencet hidung Ajeng.
Hmm...tapi aku ada akal! Eit, karena ini rahasia, Ajeng tak boleh mengetahui rencanaku. Aku segera mengambil beberapa potong kain sarung dan selembar tikar. Kututup tiap sisi meja makan yang terbuka menggunakan kain sarung. Kugelar tikar di kolong meja makan. Tak lupa kutaruh selimut dan bantal supaya hangat dan nyaman. Ruang dalam tenda buatanku itu kuterangi dengan lampu kecil. Jadilah sebuah tenda kemping di kolong meja!
“Hu-uh, itu, sih, bukan tenda kemping, tapi tenda asal jadi!” keluh Ajeng dengan bibir manyun.
Disibaknya penutup dari kain sarung yang berfungsi sebagai pintu masuk. Ajeng membungkuk dan menyelinap ke dalam tenda tersebut. Dia tidur-tiduran di sana.
“Yah, lumayan juga!” gumam Ajeng pelan.
Tapi aku tahu dia cukup senang dengan tenda darurat itu. Beberapa menit kemudian Ajeng sudah mulai menikmati mainan barunya. Apalagi Ibu menghidangkan sepiring pisang goreng dan segelas teh manis hangat.
Tiba-tiba terdengar suara hujan turun dengan derasnya. Angin bertiup kencang. Ajeng terkesiap. Dia melompat ke luar tenda dan berlari ke pinggir jendela. Di luar sana Galuh, Agis, Neni, dan Ira tampak repot berteduh di garasi rumah Galuh. Tenda mereka yang kecil rubuh dihempas angin.
“Tuh kan, buat tenda di kolong meja lebih aman daripada buat tenda di luar rumah!”
“Huh, biar tau rasa! Habis Ajeng nggak diajak main, sih!” celetuk Ajeng sambil bersungut-sungut.
Aha! tiba-tiba muncul ide itu di kepalaku. Diam-diam kutelepon Galuh di rumahnya. Beberapa menit kemudian Bik Lilis, pembantu Galuh, mengantar Galuh, Agis, Neni, dan Ira ke rumah kami dengan payung secara bergantian.
“Dengar-dengar, katanya kamu punya tenda anti hujan, ya?” tanya Agis pada Ajeng.
Adikku itu cuma tercengang heran. Mungkin bingung karena teman-temannya mendadak datang.
“Boleh kami ikut bermain? Nanti kalau hujan sudah reda, kamu boleh ikutan kemping di tendaku!” sahut Galuh.
Syukurlah, Ajeng mengangguk mengiyakan. Akhirnya kelima anak itu bermain kemping-kempingan di kolong meja. Aman dari panas, hujan, dan angin. Lagipula pisang goreng buatan Ibu yang enak membuat mereka makin betah bermain!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
15 Dampak Positif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR