Suatu ketika, di pasar kecil di sebuah desa, hiduplah seorang tukang beras. Orangnya gemuk pendek dan perutnya gendut. Namanya Ming San. Di sebelah kiosnya, ada perempuan tua yang menjual kue-kue.
Orang-orang suka berbelanja di tempat Pak Ming San karena ia ramah, suka bergurau, dan murah hati. Setiap orang yang membeli beras selalu ditambahkannya sejumput.
Salah satu langganannya adalah Ling Ling, gadis kecil berusia 9 tahun. Kulitnya putih mulus, wajahnya manis, rambutnya hitam dan bibirnya mungil. Namun, hidungnya agak pesek.
Beberapa hari sekali Ling Ling selalu datang membeli beras. Karena orang tuanya kurang mampu, mereka harus beli beras eceran, tak bisa beli untuk persediaan selama satu bulan.
Setiap kali ia datang, Pak Ming San memberinya tambahan segenggam beras, bahkan kadang-kadang dua genggam. Tak lupa ditariknya hidung Ling Ling dan berkata, “Biar hidungmu mancung. Kalau hidungmu mancung, kamu pantas jadi nyonya raja muda.”
Ling Ling marah dan menjerit, “Auww, awas, Pak Gendut. Kalau berani sekali lagi, aku akan menangis!”
Lalu, Pak Ming San akan menarik hidungnya sekali lagi sambil berseru pada perempuan tua di sebelah kiosnya, “Lekas, Hau Ma. Beri dia kue mangkok. Biar aku yang bayar. Aku khawatir dia benar-benar menangis!”
Maka, Ling Ling pun mendapat kue mangkok merah. la mengucapkan terima kasih, membawa berasnya, dan pulang ke rumah sementara Pak Ming San dan Hau Ma tertawa terbahak-bahak.
Jika Ling Ling bosan dengan kue mangkok, Pak Ming San yang baik hati mengizinkannya memilih kue apa
saja di kios nenek penjual kue itu. Bahkan, kalau Ling Ling sedang ingat adik laki-lakinya, dia akan mengambil dua buah kue. Dan, Pak Ming San sama sekali tak keberatan. Bahkan, tawanya bertambah keras. Ia maklum bahwa orang tua Ling Ling jarang membelikan kue dan ia ingin menyenangkan hati anak itu.
Tahun demi tahun berlalu. Ketika Ling Ling sudah berusia 12 tahun, ia tidak disuruh ke pasar lagi. Adik laki- lakinya yang menggantikan tugasnya. Ling Ling sibuk belajar memasak, menyulam, membaca kitab-kitab yang berguna. Pokoknya, mempersiapkan diri menjadi anak gadis yang pintar dan cekatan.
Akan tetapi, tukang beras di pasar itu tetap mengingatnya walaupun tak ada kesempatan menggoda Ling Ling lagi. la sering menanyakan kabar Ling Ling dan menitipkan salam untuknya lewat adik Ling Ling. Kadang-kadang, ia mengirimkan kue empat lima buah untuk Ling Ling.
Anehnya, semakin besar, hidung Ling Ling semakin mancung. Saat ia berusia 17 tahun, ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, cerdas, dan rajin.
Ketika tersiar kabar walikota mencari istri, Ling Ling pun diantar orangtuanya pergi ke kota. Ia menjalani berbagai ujian dan akhirnya terpilih menjadi istri walikota.
Tugas suaminya berpindah-pindah dan Ling Ling terus mendukung karir suaminya. Sampai akhirnya, saat Ling Ling berusia 28 tahun, suaminya diangkat menjadi raja muda di wilayah yang jauh dari desa kelahiran Ling Ling.
Suatu ketika, Ling Ling rindu akan desa kelahirannya. la ingin berkunjung. la teringat akan Hau Ma dan Pak Ming San, tukang beras yang baik itu. la ingin membalas budi yang diterimanya waktu masa kanak-kanaknya.
Sayangnya, waktu itu Hau Ma sudah meninggal. Tinggal Pak Ming San yang masih setia berdagang beras di pasar. Berita kedatangan Nyonya Raja Muda cepat tersiar di desa Ling Ling. Mereka sangat bangga karena nyonya pembesar itu adalah warga desa mereka. Juga tersiar berita bahwa nyonya raja akan datang ke pasar dan mencari Pak Ming San, tukang beras.
Sebetulnya Ming San sangat senang karena Ling Ling kecil yang sering digodanya dulu sudah menjadi orang terkenal.
Akan tetapi, orang-orang di pasar bilang, “Ingat-ingatlah, kamu punya salah apa. Jangan-jangan dia datang untuk membalas dendam. Mungkin kamu akan ditangkap dan disiksa serta dipenjara!”
Mendengar omongan mereka, Ming San menjadi gelisah. Ia takut omongan itu benar. Maka, saat rombongan Nyonya Raja Muda datang, Pak Ming San pulang ke rumahnya.
Dengan gembira Ling Ling melihat-lihat pasar, menyapa orang-orang yang masih dikenalnya. Namun, ia kecewa ketika mendapati kios tukang beras ditutup.
“Mana Ming San? Lekas cari dia. Bawa dia menghadap. Aku tunggu dia di rumah, orang tuaku!” perintah Ling Ling pada para pengawal.
Sementara itu, Ming San yang ada di rumah sangat takut ketika diberitahu bahwa para pengawal disuruh mencarinya. Ia berlari ke pantai, bermaksud melarikan diri. Namun, di ujung jalan, para pengawal menangkap dan membawanya menghadap Ling Ling.
Ming San berlutut, menyembah, dan berkata, “Ampun, Nyonya. Hamba minta ampun atas semua kesalahan hamba. Janganlah hamba yang tua ini dihukum. Kasihanilah hamba!”
Ling Ling tertawa geli dan berkata, “Pak Gendut, eh, Pak Ming San. Bapak omong apa, sih? Bapak sama sekali tidak bersalah. Saya mencari Bapak karena mau membalas budi baik Bapak. Dulu, ketika saya kecil, Bapak selalu membelikan saya kue-kue karena orang tua saya tidak mampu membelinya. Bapak memberikan tambahan beras setiap kali saya berbelanja. Bahkan Bapak selalu berkata saya pantas jadi istri raja muda. Itu membuat saya berani mengikuti ujian menjadi istri walikota dan yakin bahwa saya pantas menjadi istri raja muda. Dan, sekarang hal itu menjadi kenyataan.”
Ming San mendapat hadiah sekantung emas. la sangat gembira.
Demikianlah, tukang beras yang murah hati mendapatkan imbalan atas kemurahan hatinya pada seorang gadis kecil.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR