Pada zaman dahulu, di Sulawesi, terdapat tiga pulau kecil yang berdekatan letaknya. Pulau-pulau itu adalah Pulau Melong, Pulau Maitung, dan Pulau Tako. Di antara ketiga pulau tersebut, Pulau Melonglah yang paling subur. Pohon kelapa berjajar di sepanjang pantai. Hutannya lebat ditumbuhi pohon mangga, pohon jeruk dan pohon pisang.
Di Pulau Melong, tinggal rakyat kera putih. Mereka dipimpin oleh seekor kera betina bernama Ratu Uala. Ratu Uala sangat cantik dan baik hati. Dalam menjalankan tugas, ia dibantu penasihatnya yang bijaksana, yaitu seekor kera tua bernama Opo Ot. Rakyat Pulau Melong hidup bahagia dan makmur. Tanpa perlu bekerja keras, mereka sudah mendapatkan makanan. Tetapi... ini menyebabkan rakyat Pulau Melong menjadi pemalas. Sehari-hari, mereka hanya menyisir bulu-bulu mereka.
Di pulau itu juga, hidup beberapa ekor kera hitam. Mereka adalah pengungsi dari Pulau Maitung yang tandus. Berlainan dengan kera putih yang hanya tahu memetik buah dan menebang pohon, kera-kera hitam ini sangat rajin bekerja. Tanah yang kosong mereka tanami dengan aneka pohon. Ratu Uala diam-diam memuji kerajinan mereka. Sayang, kera-kera putih malah mengejek mereka.
“lih... bulunya hitam!”
“Mungkin karena tidak pernah mandi. Ha ha ha,” ejek kera-kera putih.
Mereka sama sekali tidak mau berkawan dengan kera hitam. Kera hitam bahkan tidak boleh ikut dalam pesta pemetikan buah. Juga dilarang mandi di sungai tempat kera putih mandi.
Pada suatu hari, seekor kera putih berlari-lari menuju Pohon Istana, tempat tinggal Ratu Uala.
“Celaka, Ratu! Tadi hamba bertemu Merpati Putih. la membawa berita buruk. Kabarnya, kera-kera Pulau Tako akan merampas pulau kita!” ujar kera itu ketakutan.
“Mana mungkin! Kera-kera Pulau Tako, kan, berbulu putih juga. Mereka tak akan menyerang kita!” ucap Ratu.
“Tetapi, Ratu, musim kemarau tahun ini sangat panjang. Semua hutan mereka menjadi kering. Hanya hutan kita yang tetap subur. Jadi, mungkin mereka menginginkan pulau kita!” kata kera itu lagi. Ratu Uala berpikir sejenak. Kecemasan mulai terlihat di wajahnya.
“Apa yang harus kita lakukan untuk mempertahankan Pulau Melong?!” pikir Ratu Uala. Kera-kera pulau Melong tidak pandai berkelahi.
Ratu akhirnya memanggil Opo Ot, si penasihat yang bijaksana.
“Menurut hamba, sebaiknya kita minta bantuan kera Pulau Maitung. Rajanya terkenal bijaksana. Mereka pasti mau membantu kita!” usul Opo Ot.
“Tetapi… bagaimana kalau rakyatku tidak setuju?” tanya Ratu sedikit cemas.
Opo Ot hanya tersenyum tenang. Kera tua itu lalu mengumpulkan seluruh rakyat Pulau Melong. Kemudian ia mengutarakan usulnya. Seperti yang diperkirakan Ratu, rakyat Pulau Melong menolak usul itu.
“Kenapa kita harus minta bantuan kera-kera hitam?!” protes kera Pulau Melong.
“Baiklah! Kalau begitu, kalian harus siap berperang. Kita akan hadapi sendiri kera-kera Pulau Tako! Bulu mereka sama putih seperti kita. Tetapi, tubuh mereka dua kali lebih besar dari kita. Mereka jahaaat sekali!” kata Opo Ot pura-pura ketakutan.
Mendengar hal itu, kera Pulau Melong menjadi takut. Mereka setuju minta bantuan kera Pulau Maitung. Ratu Uala lalu mengutus Opo Ot untuk menemui Raja kera Pulau Maitung. Opo Ot, disertai tiga kera putih, segera berangkat menuju Pulau Maitung. Mereka menggunakan perahu dari batang kelapa. Setibanya di pantai Pulau Maitung, mereka disambut dengan ramah sekali. Keempat kera putih itu menjadi malu. Sebab mereka biasanya memperlakukan kera hitam dengan kasar.
Raja Pulau Maitung bernama Batuline. la adalah seekor kera hitam yang berbadan besar dan gagah. Dengan senang hati ia bersedia membantu rakyat Pulau Melong. Ia pun mengumpulkan seluruh kera jantan Pulau Maitung. Kera-kera jantan yang berbadan besar dan kuat, ia jadikan pasukan untuk melawan kera Pulau Tako.
Keesokan harinya, dengan berpuluh-puluh perahu, Raja Batuline beserta pasukannya berangkat menuju Pulau Melong. Namun, saat hampir merapat di pantai Pulau Melong, mereka melihat berpuluh-puluh perahu ditambat di pantai. Dari kejauhan, terdengar jeritan kera-kera betina.
“Kera-kera Pulau Tako sudah datang!” seru Raja Batuline. “Ayo serbu mereka!”
la dan pasukannya segera berlari dan memanjat pohon dengan gesit. Tak lama kemudian, kera Pulau Maitung sudah terlibat dalam perkelahian dengan kera Pulau Tako. Mula-mula mereka bingung, yang mana kera Pulau Tako, yang mana kera Pulau Melong? Semuanya berbulu putih.
“Kera Pulau Tako yang berbadan besar!” teriak Opo Ot dari atas pohon persembunyiannya.
Perkelahian berlangsung seru. Kera Pulau Maitung berjuang mati-matian. Kera Pulau Melong hanya berteriak- teriak memberi semangat dari tempat persembunyian di belakang pohon.
Tak lama kemudian, kera Pulau Tako mulai kewalahan. Mereka lari tunggang-langgang menuju perahu mereka dan pulang.
Rakyat Pulau Melong bersorak gembira. “Hore! Kita menang! Hidup kera Pulau Maitung!”
Kera Pulau Melong sudah menyadari kesalahan mereka.
“Melalui peristiwa ini, kita sadar berbulu hitam atau berbulu putih sama saja!!” teriak Opo Ot dari atas pohon.
“Setuju! Hidup Opo Ot!” sorak kera hitam dan kera putih.
“Kita dan kera Pulau Maitung berbeda. Kita berbulu putih, mereka berbulu hitam. Tapi, yang berbeda ternyata hanya warna bulu kita. Sedangkan isi hati kita semua sama. Sama-sama cinta damai!” ucap Ratu Uala yang tiba-tiba muncul. Ia bergandengan tangan dengan Raja Batuline.
“Hidup Ratu Ualal! Hidup Raja Batulinell” teriak kera Pulau Melong dan kera Pulau Maitung. Tangan-tangan mereka kini bergandengan dalam persahabatan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vanda Parengkuan.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR