Suatu ketika, ada seorang raja bernama Tegar Karang. Ia mempunyai seorang sahabat, seorang pedagang kain yang bernama Danu Bijak. Hampir tiap hari Danu Bijak datang ke istana. la bertukar pikiran dengan Raja dan sering menasihati Raja. Kadang-kadang, mereka berdua pergi berekreasi.
Suatu hari, Raja Tegar Karang dan Danu Bijak berburu. Mereka mengejar seekor rusa dan memacu kuda masuk ke dalam hutan, meninggalkan para pengawal jauh di belakang. Ternyata, seekor burung besar merasa terganggu dengan kehadiran mereka di wilayahnya. Tiba-tiba, burung itu menukik dari sebatang pohon tinggi dan mematuk mata kiri Raja.
Raja menjerit kesakitan. Sebelah tangannya menutup matanya dan tangan kanannya memegang kekang erat-erat. Danu Bijak cepat bertindak. Rombongan bergegas kembali ke istana.
Di istana, Raja diperiksa oleh Tabib Kerani . Ternyata, mata kiri Raja tak tertolong. Terpaksa Raja hanya memiliki satu mata atau harus mengganti matanya dengan mata orang lain. Namun, waktu sangat terbatas dan operasi harus lekas dilakukan. Maka terpaksalah diambil jalan pintas. Mata kiri Raja Tegar Karang diganti dengan mata sapi. Rahasia itu hanya diketahui oleh mereka bertiga.
Sebulan kemudian Raja sembuh. Semua berjalan biasa, kecuali satu hal. Sekarang Raja Tegar Karang punya kegemaran baru. la suka sekali duduk di padang rumput di belakang istana dan memandangi rumput hijau, termasuk pada jam kerja.
Danu Bijak datang untuk menasihatinya di padang rumput. “Wahai Baginda, sebagai sahabat, saya mau memberitahu satu hal. Ini jam kerja. Tak sepantasnya Baginda berada di sini. Banyak tugas Baginda di istana. Ayo, kembalilah ke istana dan bekerja,” kata Danu Bijak.
“Ah, aku masih senang di sini. Lihatlah betapa indahnya dan segarnya rumput hijau itu. Aku tidak bisa menahan keinginanku untuk diam berlama-lama di sini!” kata Raja Tegar Karang.
Danu Bijak tersentak. Jangan-jangan, hobi baru Raja ini ada kaitannya dengan mata kirinya yang diganti mata sapi.
“Gawat kalau begitu. Jangan-jangan, nanti Baginda juga ingin makan rumput seperti sapi,” goda Danu Bijak.
Di luar dugaan, Raja Tegar Karang menjawab serius, “Ya, sebenarnya aku juga ingin makan rumput. Dimasak apa, ya, enaknya? Atau dimakan seperti lalap mungkin lebih enak, ya?”
Danu Bijak tidak tertawa mendengar jawaban sahabatnya. Tegar Karang seorang raja. Wibawanya harus dijaga. Harus ada yang mengorbankan mata kirinya sehingga Raja memiliki sepasang mata manusia.
Disarankannya hal itu kepada Raja. Raja menyetujuinya. Ia meminta Danu Bijak mencarikannya pendonor mata yang mau merahasiakan hal tersebut. Sebagai hadiah, Raja akan memberi donor itu sekantung emas.
Maka, pada hari yang ditentukan, Raja dioperasi. Setelah sembuh, ia sangat bersukacita. Kegemarannya duduk di padang rumput hilang. la juga tak punya keinginan makan rumput.
Akan tetapi, ada satu hal yang mengherankannya. Sahabatnya, Danu Bijak tak pernah lagi datang ke istananya. Orang yang ia suruh menjemput Danu Bijak selalu menjawab bahwa Danu Bijak sibuk, pagi-pagi sudah pergi dan petang hari baru pulang. Akhirnya, suatu pagi, Raja pergi sendiri ke rumah Danu Bijak.
Sahabatnya itu sangat bersukacita. Ia memeluknya dan berkata,“Baginda tidak suka ke padang rumput lagi, kan?”
“Ya, aku sangat berterima kasih padamu. Aku belum bayar sekantung emas untuk orang yang memberikan mata kirinya padaku. Katakan siapa orangnya. Aku ingin menjumpainya dan mengucapkan terima kasih serta memberikan emas itu,” kata Raja.
“Ah, itu sudah beres. Saya sudah bayarkan dulu dan orangnya juga sudah pindah ke negeri lain. Maaf, saya harus pergi. Ada urusan penting!” kata Danu Bijak.
“Tunggu dulu. Kita, kan, sudah lama tak berjumpa. Marilah ke istana dan bercakap-cakap seperti dulu!” kata Raja.
Akan tetapi, Danu Bijak menolak. Ada urusan yang harus segera diselesaikannya, tetapi ia tak mau memberitahu urusan apa. Maka, Danu Bijak menunggang kudanya dan berangkat. Diam-diam Raja mengikutinya dari belakang. Betapa terkejut Raja ketika ternyata Danu Bijak pergi ke padang rumput di pinggir kota. Di sana, ia menghamparkan tikar dan duduk memandang rumput hijau.
Mengertilah Raja Tegar Karang bahwa sahabatnya telah mengorbankan mata kirinya dan kini Danu Bijak yang menggunakan mata sapi.
“Bijak, mengapa ini kau lakukan? Mengapa kamu korbankan matamu sendiri?” tanya Raja dengan terharu.
“Baginda seorang raja. Tidak pantas bagi seorang raja menghabiskan waktunya berjam-jam di padang rumput. Sedangkan saya seorang pedagang kain. Toko saya ada yang mengurus. Lagi pula, Baginda tidak ingin rahasia ini terbongkar, kan? Oh, ya, apakah Baginda sudah tahu, rumput ini enaknya dimasak apa?” tanya Danu Bijak.
Raja Tegar Karang sangat prihatin. Ia sudah mendapat mata manusia, tetapi kini ia kehilangan sahabat. Danu Bijak juga merasa bahwa ia merindukan hari-hari seperti dulu, ketika ia bisa bercengkerama dengan sahabatnya.
Suatu hari, Danu Bijak memanggil Tabib Kerani. la minta mata sapinya dicopot saja. Ia rela hanya memiliki satu mata.
Sesudah itu, Danu Bijak tidak lagi menghabiskan waktunya di padang rumput. la tetap bersahabat dengan Raja Tegar Karang. Raja sangat menghargai sahabatnya yang bermata satu itu. Mereka menikmati hari-hari yang menyenangkan dan rahasia mereka tetap tersimpan rapi.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR