Kanti berdiri di depan pintu bangunan bersejarah Lawang Sewu di Semarang. Ia menoleh ke arah Om Sano yang asyik memotret di halaman gedung. Kanti sudah tak sabar ingin masuk, tetapi Om Sano malah sibuk sendiri. Hmmm… Om Sano pasti tidak keberatan kalau dia melihat-lihat sebentar ke dalam gedung.
Kanti melangkahkan kakinya, masuk ke ruang depan. Waaahh… ada tangga megah dengan kaca patri berwarna-warni yang indah sekali. Kanti berjalan ke arah tangga itu. Namun, langkahnya lalu terhenti dan ia menoleh ke arah pintu. Kalau dia masuk terlalu jauh sendirian, Om Sano pasti khawatir.
“Bagus sekali, ya, jendela itu,” sapa suatu suara di belakangnya. Kanti menoleh. Seorang gadis kecil sebayanya yang menyapa. Gadis itu bermata biru dan berambut pirang ikal.
“Anouk,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Kanti menyalaminya dengan perasaan bingung. Apa maksudnya Anouk itu?
“Anouk itu namaku,” sahut gadis itu lagi seakan bisa membaca pikiran Kanti, “Banyak orang yang tidak tahu nama Anouk, padahal di tempat asalku, Belanda, nama itu terkenal, lo.” lanjutnya lagi. Bahasa Indonesia Anouk lancar sekali.
“Namamu siapa?” tanya Anouk dengan ramah. Kanti menyebutkan namanya. Lalu Anouk mengajaknya berkeliling Lawang Sewu. Serta-merta, Kanti mengiyakannya.
Ternyata, Anouk pintar sekali. Dia tahu banyak soal Lawang Sewu. Katanya dia sering mengunjungi Lawang Sewu karena ia tinggal di dekat situ. Tidak heran juga, sih! Lawang Sewu, kan, gedung bergaya Belanda, Anouk pasti serasa di negerinya sendiri di situ. Demikian pikir Kanti sambil menyimak baik-baik penjelasan Anouk.
Tak terasa Anouk membawa Kanti jauh menyusuri bangunan depan Lawang Sewu yang sudah direnovasi. Akhirnya, mereka sampai ke bangunan belakang yang belum direnovasi. Lorong-lorong beratap tinggi yang gelap dengan dinding bercat suram dan retak-retak tiba-tiba mengingatkan Kanti akan cerita-cerita hantu di Lawang Sewu. Kanti mulai merasa takut. Berdua mereka mulai melangkah masuk ke dalam gedung suram itu.
Namun, ajaib! Tiba-tiba lorong panjang mengerikan itu menjadi terang oleh lampu-lampu cantik di sepanjang lorong. Lantainya dilapisi karpet merah, lukisan-lukisan berbingkai mewah muncul menghiasi dinding yang tak lagi retak kekuningan. Kanti menatap ke sekelilingnya dengan bingung.
Anouk membuka pintu pertama di koridor yang kini bersih dan indah itu. Suatu pesta dansa sedang berlangsung di sana. Ada meja penuh makanan-makanan enak di sudut ruangan. Anouk menarik tangan Kanti untuk bergabung dalam keriaan itu. Anouk mengenalkan Kanti ke beberapa anak Belanda di pesta itu. Anak-anak itu ramah dan dengan segera Kanti merasa betah dan melupakan kebingungannya.
Tiba-tiba Om Sano masuk ke dalam ruang pesta itu sambil memanggil-manggil namanya.
“Om Sano,” jawab Kanti sambil berjalan menyongsongnya.
Namun, Om Sano malah meninggalkan ruangan itu dan memanggil-manggil namanya di sepanjang koridor. Kanti beranjak untuk mengejarnya, tetapi Anouk menahan Kanti. Tiba-tiba ruangan dansa mewah itu berubah kembali menjadi aula kosong berdebu dengan dinding dan lantai yang kusam. Kanti mulai merasa takut, genggaman tangan Anouk mendadak jadi keras dan dingin.
“Di sini saja, Kanti. Kita bisa bermain bersama-sama di sini, setiap hari,” pinta Anouk.
“Ya, di sini saja, Kanti,” ucap anak-anak lain yang tadi bermain bersamanya.
“Tetapi, Om Sano…” bantah Kanti keras sambil berusaha melepaskan tangan Anouk, tetapi sia-sia saja.
Cengkraman Anouk semakin kuat, “Kamu sendiri, kan, yang memisahkan diri dari Om Sano. Om Sano tidak mempedulikanmu,” ujarnya.
Anak-anak yang lain mulai merapat mengelilingi Kanti. Kanti takut sekali. Mata-mata mereka begitu dingin dan kosong.
“Kamu tahu Om Sano akan khawatir kalau kamu berkeliaran sendirian, tetapi kamu tetap melakukannya, kan?” tambah Anouk lagi.
“Kanti! Kanti! Kanti!” suara panggilan Om Sano bergema di seluruh Lawang Sewu. Suaranya terdengar sangat cemas.
Kanti mulai menangis. Om Sano baik dan pintar memotret. Hari pergi jalan-jalan dengan Om Sano ini sudah lama ia tunggu. Tetapi sekarang dia malah tertahan di sini dan Om Sano sangat mencemaskannya. Anouk tersenyum. Genggamannya melonggar.
“Pergilah, susul Om Sano. Tapi janji, ya, jangan berkeliaran sendiri di tempat wisata, meninggalkan orang dewasa yang menemanimu. Apalagi ikut dengan anak yang baru kamu kenal,” ucapnya. Anouk dan temantemannya mulai memudar. Sinar matahari menembus masuk dari jendela Lawang Sewu. Kanti mulai merasa hangat dan tenang.
“Kanti!” panggil Om Sano yang muncul di pintu ditemani bapak pemandu wisata Lawang Sewu.
“Om Sano!” seru Kanti dengan lega sambil berlari-lari ke arah Om Sano. Di sudut ruangan Anouk tersenyum.
Perlahan-lahan musik mulai kembali berdenting, pesta dansa meriah itu mulai tergelar lagi dan Anouk kembali bermain. Tentunya kali ini pesta itu tidak terlihat lagi oleh Kanti.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR