Putri Katum tidak suka binatang! Apalagi anak biri-biri yang terus bawel mengembik. Apalagi kalau biri-birinya ada tujuh! Putri Katum juga tidak suka bertemu penduduk desa. Putri Katum lebih suka sendirian di gubuk kecilnya di hutan.
Eh, seorang putri kok tinggal di gubuk kecil? Ya, dulu Katum adalah putri raja dari kerajaan yang jauh. Namun, pemberontakan di negerinya membuatnya terasing. Kini, ia hanya tinggal sendirian dan tumbuh menjadi putri pemuram, penyendiri, yang tidak pernah tersenyum.
Semua berubah akibat suatu pagi. Saat itu Putri Katum menemukan induk biri-biri yang sudah hampir kehabisan tenaga akibat melahirkan tujuh ekor bayinya. Ia meminta Putri Katum merawat bayi-bayinya.
Katanya, tujuh biri-biri itu adalah biri-biri ajaib. Mereka bisa mengabulkan permintaan Katum jika mereka sudah besar nanti.
Katum ingin kembali menjadi putri raja yang bisa memerintah dan memiliki segalanya. Ia bersedia merawat tujuh bayi biri-biri itu. Induk biri-biri pun menghembuskan nafas terakhir dengan lega.
Akan tetapi, merawat tujuh bayi biri-biri itu sama sekali tidak mudah. Pertama Katum perlu mencari susu.
Pak Kujang bersedia memberi Katum susu sapi, asalkan Katum membantunya bekerja di ladang. Katum tentu saja tidak mau, tak mungkin seorang putri bekerja pada peternak seperti Pak Kujang lagi!
Tetapi, astaga! Sementara ia mengobrol dengan Pak Kujang, tujuh bayi biri-birinya sudah melahap habis hasil perahan susu Pak Kujang pagi itu! Terpaksa Katum bekerja di peternakan Pak Kujang.
Di, sana Pak Kujang dan anak buahnya memperlakukan Katum dengan baik. Mereka membantu Katum merawat biri-birinya. Bahkan Pak Kujang yang duluan berseru kegirangan, saat salah seekor bayi biri-biri itu bisa berdiri tegak.
Melihat sinar kebahagiaan di mata Pak Kujang, Katum jadi teringat pada ayahandanya. Tak terasa senyum mulai terbentuk di wajahnya.
Setelah biri-birinya bisa makan rumput dan sayuran, Bu Sayur, tetangga Pak Kujang, memberi Katum sekeranjang sayuran setiap hari. Sebagai balasannya, Bu Sayur meminta Katum membantunya memasak untuk pesta perayaan ulang tahun desa.
Saat pesta itu, Bu Sayur juga memperkenalkan Katum pada orang-orang di desa. Meraka menyapa Katum dengan ramah. Mereka memuji masakan Katum. Diam-diam, Katum bangga juga! Sudah lama sekali rasanya ia tidak dipuji karena apa yang ia lakukan.
Saat biri-birinya mulai besar, keajaiban mulai tampak. Bulu biri-biri itu ternyata tidak putih bersih. Warnanya berwarna-warni! Merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Awalnya muda sekali warnanya, lama-lama semakin pekat dan cantik.
Katum mulai bersemangat. Ia semakin yakin tujuh biri-birinya itu ajaib. Biri-biri itu juga selalu menyambutnya dengan penuh suka cita. Katum semakin sering tersenyum dan mulai bernyanyi kecil saat bermain bersama biri-birinya di padang rumput.
Akan tetapi, musim hujan lalu melanda desa mereka. Tidak ada matahari yang bersinar selama berbulan-bulan. Pak Kujang sakit flu tidak sembuh-sembuh. Di mana-mana terjadi banjir, ladang-ladang Bu Sayur habis terkuras. Katum kesulitan mencari rumput dan sayur untuk ketujuh biri-birinya.
Pada suatu sore, hujan lebat turun. Katum pergi ke kandang membawa sekeranjang kecil sayuran.
Biri-biri merah, biri-biri tertua yang kini sudah bertanduk gagah, menyapanya, “Terima kasih untuk kebaikan hatimu, Katum. Kamu sudah merawat kami sampai tanduk-tanduk kami sudah tumbuh.”
“Ya, sekarang kami sudah jadi biri-biri ajaib sepenuhnya. Kami bisa mengabulkan permintaanmu,” sambung biri-biri biru.
“Kamu mau kembali jadi putri raja, kan?” tanya biri-biri ungu.
Katum terdiam. Hujan menggelegar di luar kandang. Tentu saja ia ingin kembali menjadi putri raja di istana, dipuja dan dilayani banyak orang. Tetapi…
“Uhuk uhuk…” terdengar suara Pak Kujang, terbatuk-batuk parah. Kata dokter jika cuaca terus dingin dan basah seperti ini, sakit Pak Kujang akan semakin parah. Biri-biri kuning maju mendekati Katum, “Apa yang kau inginkan, Katum?”
Katum menjawab ragu, “Aku… aku…” Bayangan dirinya dengan gaun cantik dan mahkota berkilau tampak jelas di pelupuk matanya.
Katum mengerjapkan mata dan menjawab tegas, “Aku ingin musim hujan berhenti dan matahari bersinar lagi agar desa kami kembali subur!”
“Permintaan yang bagus,” ucap biri-biri hijau dengan nada bangga.
“Kami akan mengabulkannya,” sahut biri-biri ungu.
Biri-biri nila mencium tangan Katum, “Sekali lagi, terima kasih banyak, Putri Katum.” Ketujuh biri-biri itu berlari ke luar kandang dan berlari terus sampai ke atas bukit. Di atas bukit, mereka lari berputar-putar berurutan, merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu, dan nila. Lalu mereka melompat tinggi ke langit dan menghilang.
Srriiiing! Secercah cahaya matahari mulai tampak. Hujan mulai mereda. Dan jauh di atas langit, melengkung dengan indahnya tujuh lengkungan warna, sesuai warna biri-biri Putri Katum. Karena itulah orang Bogor menyebut ‘pelangi’ dengan ‘katumbiri’. Biri-biri Putri Katum.
* * *
“Mama aaahhh… menyindir Nayla!” rajuk Nayla, mendengar cerita katumbiri karangan ibunya.
“Lo, kok, kamu merasa tersindir?” senyum ibu.
“Huh!” Nayla semakin cemberut. Namun, ia tahu pasti, dirinya, kan, seperti Putri Katum. Inginnya jadi putri yang permintaanya dituruti, dipuja, dan dipuji cantik oleh semua orang. Diam-diam Nayla berjanji. Kalau ada pilihan menjadi putri atau menolong orang, Nayla akan memilih menolong orang.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
MILKU Milk Farm Hadir di KidZania Jakarta, Ajak Anak-Anak Menjadi Peternak Sapi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR