“Lihat belut morea dulu! Kalau enggak, aku gak mau!” pekik Reysha.
Lagi-lagi, Randy si kakak, mengalah, padahal ia sangat ingin melihat Pantai Natsepa. Mobil mereka pun meluncur ke arah Waai, menuju Kolam Waiselaka, tempat hidup belut-belut morea.
Setiba di sana, lagi-lagi Reysha membuat keributan. Reysha memang tidak sabaran dan mau menang sendiri. Seperti saat ini.
“Kak, mana belutnya? Kok, gak keluar-keluar? Ayo dong, belut!” seru Reysha sambil mencipak-cipakkan air.
Tiba-tiba, serombongan belut morea, belut-belut raksasa, muncul dari balik bebatuan, meliuk-liukkan tubuh licin mereka, menghambur ke arah Reysha.
“Aaaahh!” pekik Reysha ketakutan.
Ia lebih takut lagi saat satu belut terbesar melompat dari air, melilit tangannya, dan menariknya jatuh ke kolam. Reysha bahkan tak sempat menjerit.
Di dalam air, belut raksasa yang tadi menariknya berubah menjadi seorang raja yang tampan. Bebatuan di dalam kolam menjadi istana-istana indah. Namun, air di dalam kolam itu tetap dingin, menusuk kulit.
“Ke… kenapa kau tarik aku ke sini? Si… apa kamu?” tanya Reysha terbata-bata.
Raja tampan berkulit gelap itu hanya memandangnya tajam, lalu menghilang ke balik bayang-bayang istana.
“Namanya Raja Morea. Dia Raja yang baik hati,” sahut suatu suara di balik Reysha. Seekor belut berubah wujud menjadi seorang prajurit di hadapan Reysha.
“Kami semua berada di sini demi menyelamatkan Putri Bia,” lanjut si belut.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR