“Aku dulu juga sangat bersedih sampai aku marah dan menenggelamkan mereka semua. Sayang, aku lalu diubah menjadi ular karena dianggap tidak bisa mengendalikan diri,” kata Baru Klinting dengan sedih.
Eci menepuk-nepuk kepala ular yang tampak muram itu, berusaha menghiburnya.
“Terima kasih, Eci,” Baru Klinting tersenyum. “Pesanku, bersabar sajalah. Tidak ada makhluk yang diciptakan hanya untuk mengganggu makhluk hidup lainnya,” tambahnya lagi sambil perlahan menghilang kembali ke dasar rawa.
Sejak itu, Eci menerima dengan tabah umpatan dan makian manusia yang menganggap eceng gondoknya hama. Sampai akhirnya, hari yang dinantikannya tiba!
“Pak, lihat! Batang eceng gondok yang kemarin bapak tebang, bisa kuanyam jadi keranjang seperti ini!” seru Hasan, anak laki-laki yang tinggal di tepi Rawa Pening. Keranjang anyamannya memang terlihat unik.
Eci senang sekali saat penduduk desa lainnya ramai-ramai mengambili batang tanamannya untuk dijadikan kerajinan lainnya. Kerajinan-kerajinan itu lalu dijual kepada turis-turis yang mengunjungi Rawa Pening.
Kegembiraan Eci pun semakin meluap saat salah satu turis itu memberitahu para penduduk desa bahwa, tanaman eceng gondok ternyata bermanfaat menyerap zat logam berat! Wah, berkat eceng gondok penduduk desa tidak akan keracunan zat logam yang banyak mencemari ikan di perairan sekitar. Sekarang, ganti penduduk desa memuji-muji diri tanaman milik Eci itu.
Eci tersenyum bangga. Kini tidak terdengar lagi suara bisik tangisannya di Rawa Pening.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR