Dito melirik dengan gelisah. Bapak berbaju hitam-hitam itu masih ada di belakangnya. Dito tak bisa melihat jelas wajahnya. Topi hitam bapak itu, menutupi sebagian wajahnya. Yang Dito tahu pasti, langkahnya diiringi bunyi tuk… tuk… tuk… Itu bunyi tongkat penyangga tubuhnya karena satu kaki bapak itu buntung!
Telapak tangan Dito mulai berkeringat. Ia tak kenal bapak itu, tetapi pikirannya segera melayang ke kejadian kemarin sore di rumah Kakek. Sore itu, Dito bermain bola di dalam rumah Kakek. Sesuatu yang dilarang Nenek sebetulnya. Tetapi, seharian itu hujan turun terus. Dito super bosan dan akhirnya diam-diam menendang-nendang bola di ruang tamu rumah Kakek. Biar pun Dito sudah super hati-hati, tak sengaja satu bola mengenai replika kapal antik kepunyaan Kakek. Seketika, replika yang amat dibanggakan Kakek terbanting dengan bunyi keras di lantai.
Kakek Dino dulu seorang nahkoda kapal pesiar. Saat ia pensiun, perusahaan kapal tempatnya bekerja memberinya sebuah replika kapal bersepuh emas dan perak. Memang megah dan cantik sekali. Lengkap dengan replika detail awak kapal dan penumpang setia kapal pesiar yang mirip sekali dengan orang-orang aslinya. Yang paling keren, tentu kakek Dito saat masih muda, berseragam kapten kapal dengan gagah. Tak heran kakek Dito sangat membanggakan replika kapal itu.
Setiap kali Dito datang berkunjung, Kakek selalu bercerita soal replika itu. Tetapi, Dito sama sekali tak tertarik mendengarkan cerita-cerita kakeknya. Kakek kalau bicara selalu panjaaang dan lamaaa, kurang jelas lagi! Dito bosan bukan main. Pokoknya, setiap kali Kakek mulai menyentuh replikanya dengan mata menerawang, Dito cepat-cepat lari ke halaman. Ia bersembunyi di atas pohon mangga!
Meskipun tak suka pada replika itu, tetap saja Dino panik saat melihat seluruh replika awak kapal dan penumpangnya berserakan di lantai. Kakek bakal marah besar! Ia cepat-cepat mengembalikan kapal ke posisi semula dan menempatkan awak kapal dan para penumpang itu ke dalam kapal.
Dito cepat menyadari, ada dua tiang kapal yang patah. Untung, ia segera menemukan patahannya dan berhasil menyambungnya kembali dengan lem. Tetapi masalahnya, ada satu replika penumpang kapal kehilangan kakinya. Penumpang berbaju hitam-hitam itu kini berkaki buntung! Persis seperti bapak berkaki buntung yang kini mengikutinya! Dito merinding habis-habisan.
Dito teringat kisah lain yang diceritakan Kakek. Tak lama setelah Kakek pensiun, kapal pesiar itu tenggelam dalam badai. Banyak penumpang dan awak kapal yang tidak selamat.
Dito merinding. Jangan-jangan, penumpang berbaju hitam-hitam itu juga tidak selamat dalam badai. Lalu, ia marah karena Dito telah membuat replika dirinya menjadi buntung. Kini, ia menghantui Dito! Hwaaaaa!!! Dito mempercepat langkahnya, tetapi tuk… tuk… tuk… dengan tangkas, bapak berkaki buntung itu juga mempercepat langkahnya. Terdengar dari bunyi ketukan tongkat kayunya.
Dada Dito berdebar-debar. Apalagi ketika langit menggelap, angin keras bertiup, dan jalan yang dilaluinya semakin sepi.
Tiba-tiba, Dito merasa punggungnya seperti disiram air es. Ia memandangi rumah-rumah di sekelilingnya. Rumah-rumah itu sepi, beberapa kosong. Dan yang jelas, Dito tidak mengenali rumah-rumah itu. Ia tersesat! Dito memang belum lama pindah ke rumah Kakek. Ia belum terlalu hafal lingkungan di sekitar rumah Kakek. Karena dari tadi ia jalan sambil ketakutan, ia telah salah belok ke perumahan yang jarang ditinggali. Saat ini, di jalan sepi itu hanya ada Dito dan bapak berkaki buntung itu!
Dito menoleh dan bertatapan mata dengan bapak berkaki buntung itu. Bapak itu menyeringai.
“Hwaaaaaa!” pekik Dito, langsung memalingkan badan, berlari menjauhi si bapak.
“Hei, Dik!” sergah bapak itu.
Dito tak menoleh lagi. Ia berlari menyusuri jalan sepi itu sekuat tenaga. Ia mendengar bunyi ketukan tongkat si bapak mengikutinya.
Dito berlari semakin kencang sampai akhirnya ia tak lagi mendengar bunyi tuk-tuk-tuk itu. Dito berhenti berlari, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Kenapa, Dik?” tanya seorang ibu bergaun merah muda. Ada tahi lalat di dekat matanya yang bersinar ramah. Dito menanyakan alamat rumah Kakek. Dengan petunjuk ibu itu, Dito berhasil menemukan rumah Kakek.
Akan tetapi, tepat di depan rumah Kakek, Dito melihat bapak berkaki buntung itu berdiri seperti menunggunya. Seringainya mengerikan.
“Hwaaa!” Dito memekik lagi. Ia segera berbalik badan dan BUK! Ia menabrak Kakek.
“Dito! Dari mana saja?” Kakek bertanya cemas.
“Kakeeek, itu ada hantu kaki buntung, penumpang kapal pesiar Kakek. Maaf yaa… aku kemarin main bola dan menjatuhkan replika kapal pesiar Kakek. Tiangnya patah dua dan ada satu penumpang yang kakinya hilang satu, jadi buntung. Terus hari ini, ada bapak-bapak kaki buntung mengejar-ngejar aku,” tangis Dito sambil melirik bapak berkaki buntung yang masih berdiri di depan pagar rumah Kakek.
Seringai bapak itu kini makin lebar dan akhirnya berubah menjadi tawa lepas. Kakek di depan Dito juga tertawa. Rupanya, bapak berkaki buntung itu adalah teman Kakek. Namanya Pak Frans. Ia sering naik kapal pesiar Kakek dan menjadi salah satu model untuk replika kapal pesiar Kakek. Kakinya memang buntung!
“Dulu, aku sakit dan kakiku harus diamputasi. Aku sedih sekali, tetapi kakekmu selalu menghiburku. Dia sudah seperti ayah bagiku,” cerita Pak Frans. Saat kejadian kapal pesiar itu tenggelam, Pak Frans kebetulan sedang tidak ikut. Jadi, ia selamat.
Selama ini, Pak Frans tinggal di luar negeri dan baru kali ini kembali ke Indonesia. Kakek banyak bercerita tentang Dito dan mengundang Pak Frans ke rumah untuk bertemu Dito.
“Kebetulan saja, di jalan aku melihat kamu. Aku pikir kamu mirip benar dengan Dito yang diceritakan kakekmu. Tapi aku tak yakin. Kuikuti kamu. Eh, kamu malah nyasar dan saat kupanggil malah lari. Ternyata karena kamu pikir aku hantu, tho? Ha ha ha!” Pak Frans tertawa lagi. Kakek juga tertawa. Dito meringis saja.
Dalam hati, Dito menyesal. Coba ia lebih memperhatikan replika Kakek. Kalau ia mau mendengarkan cerita Kakek soal replika itu, tentu, ia tahu kalau ada replika yang memang berkaki buntung. Dan ia tidak perlu kalang kabut mencari potongan kakinya!
Tak lama kemudian, Kakek dan Pak Frans duduk-duduk mengamati replika Kakek. Bernostalgia akan masa mereka naik kapal bersama. Kali ini, Dito ikut mendengarkan kisah-kisah mereka.
“Yang ini, namanya Sutina. Cantik sekali. Banyak awak kapal yang menyukainya,” cerita Kakek. “Sayang, ia menjadi salah satu penumpang yang hilang saat kapal ini tenggelam.” Kakek menunjuk satu replika wanita cantik bergaun merah jambu dengan tahi lalat di bawah matanya.
Dada Dito kembali berdebar melihatnya. Gaun merah jambu, wajah cantik dan ramah dengan tahi lalat di bagian bawah mata? Bukankah itu ibu yang menyapa dan memberitahukannya jalan ke rumah Kakek saat tadi ia tersesat?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Bisa Mengisi Waktu Liburan, Playground Berbasis Sains Interaktif Hadir di Indonesia!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR