Alkisah pada zaman di Kerajaan Sunda hiduplah seorang raja yang pemberani dan bijaksana. Namanya Prabu Siliwangi. Sampai sekarang makam beliau belum ditemukan. Diperkirakan beliau melakukan moksa atau menghilang. Orang-orang yakin beliau berubah wujud menjadi harimau atau maung di Hutan Sancang.
Nika adalah gadis kecil yang tinggal di suatu kampung di dekat Hutan Sancang. Sejak kecil Nika selalu pendiam. Mungkin karena ia hanya tinggal bersama neneknya yang bisu. Kalau ada temannya yang datang mengajaknya bermain, Nika hanya menggeleng. Di sekolah, ia juga selalu diam dan saat menjawab pun suaranya lirih. Nilai-nilai pelajarannya biasa saja. Bagus tidak, jelek juga tidak. Lama-lama, teman-temannya jadi tidak memperhatikannya. Ada ataupun tidak ada Nika, sama saja!
Suatu hari, saat sedang duduk-duduk sendirian di tepi Hutan Sancang, Nika mendengar rintihan kecil. Ternyata itu suara seekor maung yang terperosok ke tengah semak berduri. Maung itu tampak gagah, agung, dan berwibawa meskipun kakinya luka-luka. Nika menolong melepaskan harimau itu. Saking dalamnya maung itu terbelit, tangan Nika sampai luka-luka saat membebaskannya.
Setelah bebas, maung itu menjilati tangan Nika yang terluka. Nika memberinya buah persik yang ia bawa dari rumah. Herannya, maung itu mau-mau saja memakannya. Bahkan, makannya sangat lahap. Sejak itu, maung itu selalu menemani Nika saat ia sedang menyendiri di hutan.
Lama-lama, Nika malah menunggangi maung itu sambil memeluk erat lehernya. Enak sekali rasanya menembus hutan di atas punggung maung yang lebar dan empuk. Maung itu mengajaknya ke danau yang indah, ke atas bukit yang cantik, memandangi anak burung yang belajar terbang, anak kancil yang berlarian.
Sayang, kejadian itu tidak bertahan lama. Salah seorang penduduk desa melihat sang maung saat ia sedang mengantar Nika kembali ke tepi hutan. Hebohlah seluruh desa. Mereka khawatir maung itu akan menyerang dan merusak kampung. Mereka hendak menangkap dan membunuh maung itu.
Malam itu juga kepala desa mengumpulkan seluruh penduduk desa. Dengan berbekal obor dan golok, mereka semua berangkat merambah hutan. Wuah… tentu saja Nika sedih dan kesal saat mendengar soal itu. Ia melupakan semua rasa malu dan kebiasaannya untuk tidak menarik perhatian.
“Tunggu!” seru Nika sambil maju ke depan seluruh penduduk desa.
“Ada apa, Nika?” tanya kepala desa.
Nika terdiam. Dia malu sekali berbicara di depan banyak orang seperti ini. Namun, teringat olehnya maung sahabatnya. Nika menguatkan tekadnya.
“Maung itu temanku. Dia baik, tidak akan memakan kita,” ucap Nika sejelas dan sekeras yang ia bisa.
“Maksudmu apa, Nika?” tanya seorang bapak.
Nika pun mulai bercerita tentang ia dan maung. Semakin lama suaranya semakin jelas dan ia semakin bersemangat. Penduduk desa mendengarkan dengan saksama.
Tiba-tiba dari arah hutan, maung yang disebut-sebut itu muncul dan dengan jinaknya duduk di samping Nika. Ia mendengkur lembut saat Nika membelainya.
Tido, anak Pak Kepala Desa perlahan melangkah maju. Tidak dipedulikannya panggilan ayahnya, memintanya berhenti. Tido maju terus dan menaruh tangannya yang gemetaran pada kepala maung itu. Maung itu mendengkur lembut. Nafas Tido mengendur.
Anak-anak lain juga menangkap aura bahwa maung itu tidak berbahaya dan ingin bermain dengan mereka. Dengan segera, mereka maju dan membelai-belai maung itu. Maung itu tampak senang dibelai oleh mereka. Ia merendahkan duduknya, agar punggungnya sejajar dengan Tido. Dengan satu lompatan, Tido sudah duduk di atas punggung maung Anak-anak lalu berkeliling desa bersama maung itu.
Seluruh penduduk desa bengong melihat kejadian itu. Maung yang ini memang tampak sangat jinak!
Anak-anak desa lainnya juga mulai bertanya ini itu kepada Nika soal sang maung. Dan, Nika mendapati dirinya bisa bercerita dengan lancar dengan mereka. Ia tidak lagi pemalu!
Begitulah, untuk beberapa lama, maung itu tinggal di tepian hutan dan bermain dengan Nika dan teman-teman barunya. Setelah Nika betul-betul punya banyak teman, maung itu seperti berbicara kepada hati seluruh penduduk desa. Suaranya sangat berwibawa dan karismatik.
“Terima kasih telah menerima saya dengan baik di desa ini. Saya senang sekali melihat keakraban penduduk desa ini. Saya juga sangat senang saat Nika dengan berani maju dan menghadapi kalian semua. Saya senang melihat kini ia punya banyak teman. Kini saya akan pergi. Ada anak-anak lain di Tataran Sunda ini yang perlu bantuan saya. Sekali lagi, terima kasih,” ucap suara itu.
Maung itu menjilat tangan Nika sebagai tanda perpisahan. Kemudian ia berpaling dan berjalan menuju hutan. Sebelum sampai hutan, maung itu menghilang.
Hanya satu yang terlintas dalam pikiran bapak kepala desa, Prabu Siliwangi.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR