Milaka memandang pemandangan di sekitar Candi Cangkuang itu dengan perasaan malas. Baginya, darmawisata ini hanya buang-buang waktu. Lebih asyik ke mal daripada mengunjungi situs-situs sejarah seperti ini.
“Seerrr… “ Angin membuat daun pohon Cangkuang bergemerisik.
Pohon Cangkuang memang banyak terdapat di sekitar Candi Cangkuang. Kata Tante Sherry, pohon itu gunanya banyak sekali. Daunnya bisa dijadikan suvenir, dijadikan tikar, tudung, pembungkus aren. Bahkan, bisa mengobati penyakit. Sari daunnya bisa diminum sebagai obat diare, tunas mudanya bisa dijadikan obat batuk, pucuk mudanya bisa menawarkan racun.
“Hoaaahhmm…” Mendengar rentetan penjelasan itu, Milaka jadi mengantuk.
Tiba-tiba, semak di sekitarnya tersibak. Seorang anak perempuan seumuran dengannya melangkah keluar dengan hati-hati. Anak itu cantik sekali, tetapi anehnya dia memakai kemben dari batik. Motifnya bagus sekali. Ada gelang emas mewah melingkari tangannya. Milaka dan anak itu saling menatap. Sama-sama bingung.
“Putri Cangkuang!” panggil seseorang dari balik semak. Anak itu menoleh sekilas lalu melompat ke depan, membekap mulut Milaka dan menariknya ke semak yang lain. Waktunya nyaris bersamaan dengan kemunculan seorang wanita berkemben dan berkonde, dari semak.
“Sstt…” bisik anak perempuan yang masih saja membekap mulut Milaka. Milaka terpaksa mengangguk. Akhirnya, wanita berkemben dan berkonde itu pergi juga. Barulah anak itu melepaskan Milaka.
Anak itu ternyata Putri Cangkuang. Wanita berkemben dan berkonde itu adalah dayangnya. Putri Cangkuang sedang kabur dari pelajaran meracik obat. Katanya sebagai putri Kerajaan Cangkuang, ia memiliki kesaktian alami untuk mengobati orang. Tetapi kekuatan itu tidak bisa digunakan begitu saja. Banyak sekali yang harus dipelajari dan dilatih olehnya.
Namun, Putri Cangkuang malas. Ia lebih suka bermain-main di danau yang mengelilingi Kerajaan Cangkuang. Hihihi… Milaka jadi tertawa. Ternyata, zaman dulu dan zaman sekarang, putri dan anak sekolah biasa, semua sama saja. Malas belajar dan suka bolos! Ia dan teman-temannya juga suka bolos sekolah atau les. Bedanya, di zaman modern, Milaka dan teman-temannya akan pergi nonton atau duduk-duduk di kafe di mall dekat sekolah.
Putri Cangkuang mengajak Milaka ke tempat persembunyiannya di tepi danau. Wah, di sana ada banyak mainan menarik. Mereka pun bermain bersama. Tiba-tiba, wussshh! Angin kencang bertiup. Daun-daun berguguran di sekitar mereka. Putri Cangkuang melihat ke langit dan tersentak! Langit di atas mereka berwarna kehijauan. Aneh sekali.
“Putri Cangkuang! Putri Cangkuang! Tolong!” panggil dayang Putri Cangkuang. Putri Cangkuang keluar dari persembunyiannya dan menyongsong dayang itu, “Bibi Dayang,” sahut Putri Cangkuang.
“Putri, tolong. Ada wabah penyakit di desa ini. Raja dan Ratu juga terkena penyakit itu. Hanya Putri yang bisa mengobati semuanya,” cerita Bibi Dayang sambil menarik tangan Putri Cangkuang ke istana. Milaka mengikuti mereka.
Sesampai di kamar Raja dan Ratu, Putri Cangkuang memeriksa keadaan mereka yang terbaring tidak sadarkan diri. Putri Cangkuang lalu tercenung. Lama sekali. Sementara itu, di luar kamar Raja dan Ratu, korban penyakit aneh itu semakin bertambah. Putri Cangkuang berlari keluar dan memeriksa orang-orang yang sakit itu. Lalu ia kembali terdiam.
“Aku… aku tidak tahu…” ucap Putri Cangkuang pelan.
“Apa maksudmu, Putri?” tanya Bibi Dayang cemas.
“Aku tidak tahu cara mengobati mereka. Aku tidak bisa! Aku tidak tahu ramuannya. Aku… aku…” Mata Putri Cangkuang bersinar ketakutan. Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba dari langit yang hijau aneh itu turun sesosok putih.
“Kamu tidak pernah belajar. Tentu saja kamu tidak tahu ramuannya. Kamu putri mereka, tetapi kamu tidak bisa menolong mereka!” ucap sosok putih itu tenang.
“Maaf, maafkan saya!” seru Putri Cangkuang.
Namun, sosok putih itu tidak bersedia memaafkan Putri Cangkuang. Ia bersedia menyelamatkan Raja dan Ratu serta mengobati orang-orang yang sakit. Tetapi, ia lalu mengubah Putri Cangkuang menjadi pohon cangkuang. Ya, untuk menebus kesalahannya, Putri Cangkuang berubah menjadi pohon cangkuang yang banyak manfaatnya.
“Serrrr…” angin dingin berhembus di sela-sela daun pohon cangkuang. Milaka seperti membeku. Pemandangan di depannya kembali menjadi candi cangkuang, danaunya, dan pohon-pohon cangkuang.
“Milaka, yuk, kita pulang. Sebentar lagi hujan turun,” ajak Tante Sherry. Milaka mengangguk dan berjalan mengikuti Tante Sherry menaiki getek untuk menyeberangi danau.
“Jangan sia-siakan apa yang kamu miliki, Milaka. Belajarlah yang rajin,” bisikan di antara dedauan pohon cangkuang itu seperti bergema di dalam hati Milaka.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR