Esok pagi, Mikita bangun dan terkejut bahwa poninya telah dipotong. Ia curiga telah terjadi sesuatu yang mencurigakan tadi malam. Cepat-cepat ia bangkit dari tempat tidur, lalu menggunting poni Mikita-Mikita lainnya.
Ketika mereka semua berkumpul untuk sarapan, Putri Pertama menjadi sangat marah karena poni semua Mikita telah terpotong sama panjang. Ia melihat ke arah Raja Vasil dan berkata,
“Kau telah mengenaliku dari antara adik-adikku. Kau juga telah membawa sepatu pernikahan yang tepat untuk dipasangkan dengan sepatuku. Aku setuju menjadi permaisurimu. Namun, kau harus membawakanku cincin emas pernikahan. Cincin itu tergantung di cabang pohon ek hijau yang paling tinggi di padang sunyi. Padang itu terletak di tengah hutan lebat dan harus melewati sembilan gunung. Aku ingin memilikinya besok pagi. Jika kau gagal, maka kau akan kuhukum.”
Sang Raja menjadi sedih lagi dan menghadap Mikita sekali lagi untuk meminta nasihat.
“Tenang saja, Yang Mulia... Kita pikirkan jalan keluar masalah ini besok,” hibur Mikita.
Ia lalu memakai topi ajaib dan sepatu botnya, lalu memulai perjalanan. Setiap langkahnya berjarak tujuh ribu kilometer. Dalam waktu sebentar saja, Mikita sudah melewati sembilan gunung. Ia pun tiba di padang sunyi di tengah hutan lebat, tepat di bawah pohon ek hijau. Di cabang tertinggi pohon itu, tergantunglah sebentuk cincin emas.
“Masih banyak waktu, lebih baik aku beristirahat sebentar,” gumam Mikita. Ia lalu berbaring di rumput dan tertidur. Sore tiba, malam tiba... ia tetap tertidur nyenyak.
Sementara itu, telah tiba waktunya bagi Raja Vasil untuk menemui Putri Pertama. Namun Mikita belum juga muncul. Sang Raja lalu menemui Mikita-Mikita lainnya, tetapi mereka pun bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mereka juga tidak tahu kemana Mikita pergi, dan dimana tempat cincin emas itu berada.
Raja Vasil mulai putus asa. Ia tahu, sebentar lagi ia akan kehilangan rambutnya yang bagus. Padahal, di negerinya, seorang raja tidak boleh tanpa rambut samasekali. Itu sama dengan kehilangan kehormatan. Adiknya, Vasilisa pasti akan sedih jika mengetahui nasibnya.
Untungnya, kesebelas Mikita tidak begitu saja menyerah. Mereka semua berlari ke arah laut dan melompat ke dalam ombak laut. Ketika tubuh mereka mengenai air, mereka pun berubah menjadi bangau-bangau putih. Mereka langsung terbang dan terbang, mengarungi dua puluh samudera, untuk bertemu kakak tertua mereka, si Bangau Besar. Mungkin saja, kakak mereka bisa memberikan nasihat kepada mereka.
Setelah Bangau Besar mendengarkan cerita adik-adiknya, ia berpikir sejenak. Lalu ia mengambil teropong yang terletak di bawah sayapnya dan mencari Mikita. Akhirnya, ia melihat sebentuk cincin emas tergantung di pohon ek hijau. Namun ia tidak melihat Mikita. Ya, tentu saja Mikita tidak terlihat. Sebab ia memakai topi ajaibnya!
Bangau Besar sangat sedih dan berkata, “Jika Mikita tidak bisa memiliki cincin itu, maka siapapun tak akan ada yang bisa!”
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR