Hai, teman-teman. Aku mau bercerita tentang kejadian misterius yang aku dan Abi, temanku, alami waktu kami berwisata ke Museum Radya Pustaka, Solo. Di sana ada hiasan kapal bernama Kyai Rajamala.
Konon, hiasan ini keramat dan akan menimbulkan suara-suara atau bebauan aneh jika terlambat diberi sesaji. Mungkin Kyai Rajamala marah, ya? Nah, karena keramatnya itu, hiasan kapal Sultan saat meminang permaisuri Pakubuwono IV dari Madura itu tidak boleh difoto. Aku mencoba menggambarkannya di atas ini. Lihat. Terlihat seram, ya.
Setelah puas menatap hiasan kapal itu, Abi mengajakku pergi ke ruangan lain. Namun, belum lama kami meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara, “Klotak.” Aku dan Abi terdiam. Apakah itu…
“Klotak… klotak… klotak…” Duh, jangan-jangan Kyai Rajamala belum dikasih sesaji. Tapi masak iya, sih, hiasan kapal bisa marah karena terlambat dikasih sesaji?
“Masuk, yuk. Kita cek.”
Abi menggamit tanganku. Jelas dong aku ketakutan. Namun, aku tidak mau dianggap penakut oleh Abi. Maka kugagah-gagahkan langkahku, kembali ke dalam ruangan Kyai Rajamala.
Keadaan di dalam lengang. Hiasan kapal itu tidak bergerak sama sekali.
“Gimana, Bi?” tanyaku.
Abi maju selangkah dan bertanya, “Kyai, ada apa?” Sunyi. Tak ada jawaban.
“Mungkin kita salah dengar kali, Bi?” tanyaku.
“Salah dengar kok bisa berdua?” balas Abi sambil maju selangkah lagi.
“Permisi, tuan Kyai,” sapa Abi lagi. Sunyi. “Kresek!” Deg! Jantungku mau copot rasanya. Ah, ternyata itu cuma suara daun tertiup angin.
“Ah sudahlah, yuk pergi!” Ajakku setengah karena takut, setengah karena ingin melihat bagian lain dari museum itu.
“Oke,” sahut Abi. Kami keluar, tapi belum sempat kami melangkah jauh, suara itu kembali terdengar, bahkan lebih keras. “Klotak, klotak, klotak!”
Suaranya seperti ada orang yang memindahkan perabotan! Aku dan Abi berpandangan. Belum lama kami berpandangan, hidung Abi mulai kembang kempis.
“Ndi, kamu mencium bau itu tidak?”
“Bau apa?” tanyaku ikut mengendus-endus. Benar! Tercium bau amis. Astaga, macam-macam saja. Apakah Kyai Rajamala benar-benar marah karena sesajinya terlambat?
“Yuk, Ndi, kita pecahkan misteri ini!” ucap Abi penuh semangat sambil menarikku kembali ke ruangan Kyai Rajamala. Di dalam ruangan kembali sunyi seakan tidak terjadi apa-apa.
Namun, kali ini Abi tidak mau ambil risiko. Ia maju dan memeriksa setiap sudut ruangan termasuk hiasan kapal Kyai Rajamala. “Andi, kok, bengong? Ayo bantu , dong,” kata Abi.
“Eh iya… iya…” aku pun turut maju.
“Permisi, Om Kyai,” kataku setengah membungkuk.
Tiba-tiba terdengar suara berdecit lemah, “Eee…” Aku dan Abi terkejut. Suara itu berbeda dengan suara klotak-klotak keras yang kami dengar tadi.
“Astaga! Lihat ini, Ndi!” Seru Abi yang sedang memeriksa ke balik Kyai Rajamala.
“Eee…” suara itu lemah sekali. Ya ampun, ada anak kucing keciiiiil sekali. Sepertinya umur kucing malang itu baru beberapa hari dan sepertinya tidak pernah dikasih susu. Lemah dan kurus sekali.
Aku dan Abi membawa anak kucing itu dengan sangat berhatihati dan memberikannya ke petugas museum.
”Kasihan,” kata Pak Purnomo, “beberapa hari lalu memang ada kucing betina yang mati di depan museum. Mungkin ini anaknya. Tampaknya dia belum sempat menyusui anaknya. Anaknya sampai begini lemah.” Pak Purnomo berjanji akan merawat anak kucing itu sampai sehat kembali.
Begitulah kisah misteri suara dan bau aneh di Museum Radya Pustaka. Tadinya kami pikir kucing kecil itu yang menimbulkan suara dan bau itu. Namun, kalau dipikir-pikir, rasanya kucing kecil itu terlalu lemah dan kecil untuk menimbulkan suara sekeras tadi. Mungkinkah Kyai Rajamala yang menimbulkan suara-suara itu agar kami bisa menemukan si kucing kecil? Aku dan Abi hanya bisa mengangkat bahu, kebingungan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR