Di sebuah kota, tinggal seorang tukang cukur yang sangat cekatan. Dengan mata tertutup pun, ia dapat mencukur seseorang tanpa terluka sedikit juga. Karena keahliannya itu, banyak pembesar di kota itu menjadi langganannya. Akhirnya tukang cukur itu menganggap dirinya hebat. la merasa dirinya orang penting. Orang yang lebih miskin darinya ia pandang remeh.
Suatu hari, seorang tukang kayu bakar menjajakan kayu bakarnya pada tukang cukur itu.
"Di mana kayu itu?" tanya tukang cukur.
"Di punggung keledaiku, di depan pintu keluar."
Tukang cukur segera ke pintu. Dilihatnya kayu yang ditawarkan. Katanya, "Baiklah. Kubeli semua kayu itu."
Tukang kayu bakar membawa masuk semua kayu bakarnya. la lalu meminta uang pembayaran.
"Eh, nanti dulu," ucap tukang cukur.
"Kau belum memasukkan pelana itu. Bukankah itu pun kayu?"
"Pelana itu tidak termasuk." "Tapi bukankah aku membeli semua kayu yang ada di punggung keledaimu?"
Tukang kayu bakar tercenung. la akhirnya terpaksa memberikan pelana itu pada tukang cukur. Orang-orang yang ada di kedai cukur itu menertawakannya. Tukang kayu bakar lalu mengadu pada Jaksa Tinggi di kota itu. Akan tetapi, semua jaksa malah membela tukang cukur. Jaksa-jaksa itu berbuat begitu karena mereka adalah langganan tukang cukur.
Walaupun begitu, Jaksa Tinggi berusaha mencari keadilan. la memang terkenal arif dan bijak.
"Kamu memang benar. Tapi, pelana itu memang terbuat dari kayu dan ada di punggung keledaimu. Jadi tukang cukur pun tak bisa disalahkan," ujar Jaksa Tinggi.
Tukang kayu bakar sangat sedih mendengar itu. la berjalan meninggalkan ruangan Jaksa Tinggi. Namun tiba-tiba Jaksa Tinggi memanggilnya, lalu membisikkan sesuatu. Tukang kayu bakar terlihat gembira sekali mendengarnya.
Beberapa hari kemudian tukang kayu bakar kembali datang ke tempat tukang cukur.
"Kau membawa kayu bakar lagi?" tanya tukang cukur.
"Oh, tidak," sahut tukang kayu bakar.
"Aku ke mari ingin dicukur. Juga temanku yang datang dari kampung."
"Baiklah," kata tukang cukur.
"Sebenarnya aku tidak biasa mencukur orang sepertimu.Tetapi hari ini tidak apalah.
Duduklah dulu. Tunggu giliranmu. Akhirnya tibalah giliran tukang kayu bakar. Dengan cekatan tukang cukur itu mencukurnya.
Setelah selesai ia berkata, "Nah, sekarang panggil temanmu yang dari kampung itu yang ingin dicukur," kata si tukang cukur.
Tukang kayu bakar keluar. la lalu kembali dengan menuntun keledainya.
"Hei, kenapa kau membawa keledai? Mana temanmu yang mau dicukur?" tanya tukang cukur.
"Ya, keledai inilah temanku."
"Keledai? Tidak, aku tidak mau mencukurnya! Huh! Keledai kok dibilang teman dari kampung?" dengus tukang cukur marah.
Persoalan itu lalu dibawa ke JaksaTinggi.
"Tukang cukur, bukanlah kau sudah bersedia untuk mencukur teman tukang kayu bakar ini?" tanya JaksaTinggi.
"Benar, Yang Mulia," jawab tukang cukur.
"Tapi apa kata orang nanti jika saya mencukur keledai? Bisa-bisa nanti tak ada lagi orang yang mau kucukur."
"Tapi itu kan salahmu sendiri. Kau sudah setuju!"
"Keledai kok dibilang teman, Yang Mulia?" protes tukang cukur.
"Kau juga mengatakan pelana adalah kayu bakar. Ya, kan? Nah, sekarang, kau cukurlah keledai itu."
Sedih dan kesal, akhirnya tukang cukur mencukur keledai itu. Orang-orang yang hadir ramai menertawakannya. Tukang kayu bakar tertawa tergelak-gelak.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: A Friend from the Country. Diceritakan kembali oleh Endang Firdaus.
Penglihatan Mulai Buram? Ini 3 Hal yang Bisa Jadi Penyebab Mata Minus pada Anak-Anak
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR