Malam itu suasana di jalan hening sekali. Di luar tak terdengar suara kodok ataupun cengkerik. Hanya kadang-kadang terdengar suara gonggong anjing dan penjual sate menjajakan dagangannya.
Di rumah Pak Tarji pun sepi. Semua sedang asyik. Pak Tarji dengan kacamata yang bertengger di hidungnya asyik membaca. Bu Tarji menjahit. Sedangkan Heri belajar di sudut ruangan. Sekali-sekali tampak ia memainkan jari-jarinya. Dan mulutnya komat-kamit seperti sedang menghafal sesuatu. Mungkin belajar untuk ulangan besok.
"Ada ulangan besok, Her?" tiba-tibaPak Tarji memecah kesunyian, seraya meletakkan korannya.
"lya, Yah!" sahutnyaserayamendekati ayah-ibunya.
"Ulangan IPS! Susahnya! Sejak tadi Heri menghafal nama-nama provinsi dan ibukotanya, selalu saja ada yang salah!" keluhnya.
"Heri, sebenarnya tidak susah, kalau dipelajari dengan sungguh-sungguh. Setiap orang yang ingin pandai, memang harus rajin belajar. Kalau malas mana mungkin cita-citanya dapat tercapai!" tukas ayahnya seraya mengelus-elus kepala anaknya.
"Oh ya, sebentar lagi kenaikan kelas? Bagaimana, nih, anak Ayah dan Ibu? Naik tidak, ya?"
"Beres!" sahut Heri sambil mengerlingkan mata pada ayahnya.
Memang Heri agak manja pada ayah-ibunya. Maklumlah, ia adalah anak tunggal Pak dan Bu Tarji.
"Selama ini ulangan Heri selalu bagus. Yah, Bu kalau Heri naik kelas, diberi hadiah, ya!"
"Hadiah?! Masa belajar harus ada upahnya. Memangnya Heri, Pak Amat si tukang cat. Setelah bekerja minta upah," sahut Ibu seraya meletakkan jahitannya.
"Uuuh, Ibu kuno!" sahut Heri lagi. "Di sekolah teman-teman kalau naik kelas selalu mendapat hadiah. Ada yang dapat tas baru, sepeda mini. Dan si Agus, kalau naik kelas akan diajak ke Pulau Bali!"
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR