Bobo.id - Carolina Reaper adalah cabai yang berbentuk bulat, berkulit keriput, dan berwarna merah cerah.
Di bagian bawah cabai ini terdapat sebuah ‘ekor’ yang menyerupai bentuk ekor kalajengking yang digunakannya untuk menyengat.
'Ekor' ini memberi kesan bahwa Carolina Reaper ini bisa menyengat.
BACA JUGA: Cabai, Cantik Tapi Pedas
Pedasnya Mematikan
Memang betul cabai ini rasa pedasnya sangat menyengat.
Pada tahun 2012, Guinness World Records mencatat Carolina reaper sebagai cabai terpedas di dunia.
Tingkat kepedasannya rata-rata 1.600.000 SHU, tapi bisa mencapai 2.200.000 SHU.
SHU singkatan dari Scoville Heat Unit. Ini adalah ukuran tingkat kepedasan yang berasal dari kandungan capsaicin di dalam cabai.
Sebagai perbandingan, tingkat kepedasan Caroline reaper ini kira-kira 14 kali pedasnya cabai rawit, yang hanya memiliki tingkat kepedasan 50.000 – 150.000 SHU.
Begitu pedasnya Carolina Reaper, sampai ada orang yang mengalami sakit kepala luar biasa setelah makan cabai ini dan harus dibawa ke UGD. Dokter bilang, bila makan lebih banyak lagi, kemungkinan cabai ini bisa mematikan.
BACA JUGA: Apa yang Menyebabkan Rasa Pedas Pada Cabai?
Hasil Pengembangan Ilmuwan Gila Cabai
Caroline Reaper ditemukan oleh Smokin Ed Currie.
Ed adalah ilmuwan yang tergila-gila pada cabai sekaligus pendiri perusahaan PuckerButt Pepper Company di South Caroline, Amerika Serikat.
PuckerButt Pepper Company bergerak dibidang perkebunan khusus untuk mengembangkan tingkat kepedasan cabai, toko sayuran (khususnya cabai), dan produsen produk cabai.
Carolina Reaper ditemukan setelah Ed melakukan percobaan selama 4 tahun.
Sebelum diberi nama Carolina reaper, cabai ini bernama HP22B. Ini sebetulnya kode tanaman. Artinya Higher Power, Pot No. 22, Plant B.
Kode ini digunakan untuk membedakan dengan pot tanaman cabai lain yang juga sedang dikembangkan tingkat kepedasannya.
Pada tahun 2017 rekor Caroline reaper dikalahkan oleh Dragon’s Breath atau Napas Naga.
BACA JUGA: Napas Naga, Cabai Paling Pedas di Dunia!
Penulis | : | Aan Madrus |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR