Bobo.id - Tiongkok juga punya kota hantu bernama Kangbashi. Kota Kangbashi ini terlihat sangat modern. Namun, mengapa tidak ada yang mau tinggal di sana, ya?
Sejarah Kota Kangbashi
Kota Kangbashi terletak di kawasan Ordos. Kota ini berada di tengah-tengah padang pasir Mongolia.
Walaupun begitu, Kangbashi adalah kota modern yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas.
Contohnya seperti stadion olahraga dan perpustakaan. Namun, sekitar 10 tahun setelah dibangun tetap tidak ada orang yang mau tinggal di sini.
Mengapa begitu, ya?
Kota Kangbashi mulai dibangun pada 2003 oleh para investor.
Kota ini dibangun untuk tempat tinggal baru yang modern bagi masyarakat Tiongkok.
Pada 2005, pemerintah Tiongkok ikut menyumbangkan dana bagi pembangunan kota ini.
Hingga 2010, tetap tidak ada orang yang mau tinggal di kota ini. Padahal Kota Kangbashi dapat dihuni oleh jutaan orang.
BACA JUGA: Ada Hotel di Kota Hantu Chernobyl?
Kota Hantu Terbesar di Tiongkok
Karena tak ada penduduknya, Kangbashi disebut sebagai kota hantu terbesar di Tiongkok.
Kota ini bahkan masuk dalam daftar kota hantu terbesar di dunia.
Salah satu penyebab tidak ada orang yang mau tinggal di Kota Kangbashi adalah karena tingginya pajak yang harus dibayar.
Selain itu, biaya hidup di kota ini juga cukup mahal sehingga orang tidak mau pindah ke sini.
Pemerintah pun mencoba menarik orang untuk tinggal di Kota Kangbashi.
Pemerintah menawarkan kompensasi dan apartemen gratis bagi petani yang mau tinggal di kota ini.
Pemerintah Tiongkok juga memindahkan kantor pemerintahan dari kabupaten yang berjarak 32 km.
Dengan begitu para pekerja akan pindah ke Kota Kangbashi agar lebih dekat dengan tempat kerjanya.
BACA JUGA: Cerita Kitsault, Kota Hantu di Kanada
Tidak Masuk dalam Peta
Usaha ini membuahkan hasil. Sekarang ada kurang lebih 100 ribu orang yang tinggal di kota ini.
Walaupun sudah berpenduduk, Kota Kangbashi ternyata tidak masuk dalam peta Tiongkok.
Pemerintah pusat menganggap kota ini masih kurang layak untuk dimasukan ke dalam peta.
Pemerintah administrasi Kangbashi pun masih berusaha mengajukan petisi agar kota ini dimasukkan ke dalam peta secara resmi.
Teks: Aisha Safira, Foto: Raphael Oliver/Daily Mail
Penulis | : | willa widiana |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR