Bobo.id – Ada sebuah pohon di Selandia Baru yang sangat terkenal.
Pohon itu bernama Tane Mahuta dan menjadi salah satu pohon terbesar sekaligus pohon tertua di dunia.
Namun sayangnya, pohon ini dikabarkan sedang sekarat. Wah, ada apa, ya?
BACA JUGA: Pohon Kersen, Pohon Peneduh yang Tumbuh di Mana-Mana
Pohon Tane Mahuta
Pohon Tane Mahuta berada di Hutan Waipoua di Northland, Selandia Baru.
Di hutan itulah, banyak terdapat pohon kauri, sejenis pohon damar kalau di Indonesia.
Pohon ini diperkirakan berusia antara 1.250 sampai 2.500 tahun, lo.
Nama Tane diambil dari nama dewa hutan suku Maori.
Dalam bahasa suku Maori, Tane Mahuta berarti Raja Hutan.
Pohon ini memiliki tinggi sekitar 50 meter dan lebar 13 meter.
Dibutuhkan lebih dari delapan orang untuk mengelilingi pohon ini dengan merentangkan kedua tangan mereka.
Wow! Jadi, bisa dibayangkan, kan, seberapa besar pohon Tane Mahuta ini.
BACA JUGA: Pohon Kematian, Mulai dari Kulit, Daun, Sampai Buah Pohon Ini Beracun
Sedang Sekarat
Sayangnya, pohon Tane Mahuti ini sekarang dikabarkan sedang sekarat.
Sekitar 60 meter dari akarnya, ada sekumpulan parasit yang bisa membuat pohon ini mati.
Parasit ini merupakan sejenis kapang air tapi hidup di tanah dan menyerang akar pohon.
Tak hanya Tane Mahuti, banyak pohon di sekitarnya yang menjadi korban dari parasit jahat ini.
BACA JUGA: Machineel, Pohon Penahan Erosi yang Bisa Menyebabkan Kematian
Sampai sekarang, para ahli masih belum menemukan cara untuk membasmi parasit ini.
Para ahli hanya bisa mencegah penyebaran parasit ini dengan beberapa cara.
Misalnya menambahkan papan pijakan agar sepatu para pengunjung tidak langsung terkena tanah.
Di hutan itu juga disediakan tempat-tempat untuk membersihkan sepatu.
Itu karena parasit ini bisa menempel ke sepatu kita sehingga bisa dengan mudah berpindah-pindah tempat.
BACA JUGA: Pohon Tenere, Pohon Paling Kesepian di Dunia
Lihat video ini juga, yuk!
Bisa Mengisi Waktu Liburan, Playground Berbasis Sains Interaktif Hadir di Indonesia!
Penulis | : | Cirana Merisa |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR