Bobo.id – Saat bangun tidur, kita pasti meneguk segelas air dan pergi ke toilet untuk membasuh wajah supaya lebih segar.
Sebelum berangkat ke sekolah, kita pasti mandi dan menggosok gigi menggunakan air bersih yang keluar dari keran. Namun, tahukah teman-teman?
Tidak semua anak Indonesia bisa mendapat air semudah kita. Anak-anak di Desa Hepang dan Desa Wolomotong, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur misalnya.
BACA JUGA:Mana Lebih Baik, Cuci Tangan Pakai Sabun Batang atau Sabun Cair?
Kekurangan Air
Saat musim hujan, masyarakat di Desa Hepang dan Desa Wolomotong biasanya mengandalkan air hujan.
Namun, saat musim kemarau tiba, mereka harus berjalan sejauh 3 – 4 kilometer untuk mengambil air bersih.
Dalam sekali perjalanan, mereka harus membawa dua jeriken berukuran lima liter. Bisa dibayangkan betapa pegal tangan mereka?
BACA JUGA:Ternyata Tak Sama dengan Air Putih, Inilah 5 Fakta Seputar Air Mineral
Membeli Air
Air yang mereka bawa setiap hari itu digunakan untuk minum dan mandi. Hampir semua masyarakat di dua desa itu melakukan kegiatan ini.
Jika mata air habis, masyarakat di Kabupaten Sikka harus membeli air yang harganya mencapai Rp.250.000 per tangki. Satu tangki air hanya bisa digunakan selama 1 – 2 minggu.
Karena sumber air hanya sedikit, kebersihan masyarakat pun sulit untuk dijaga. Akhirnya, banyak anak yang terkena diare karena kebersihannya tidak terjaga.
BACA JUGA:Perkenalkan, Inilah 5 Ikan Air Tawar yang Berbahaya di Dunia
Kita Bisa Membantu
Teman-teman mungkin sedih dan ingin membantu masyarakat yang ada di Desa Hepang dan Desa Wolomotong.
Jika teman-teman ingin membantu masyarakat di dua desa itu, buka saja portal beranibermimpi.id.
Di sana, kita bisa berdonasi untuk pembuatan saluran air ke Desa Hepang dan Desa Wolomotong di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Sumber: Press Release #BERANIBERMIMPI Dukung Air Bersih untuk Sikka
Lihat video ini juga, yuk!
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Penulis | : | willa widiana |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR