Tentunya kepala adat beserta masyarakat di sana tidak pernah tahu isi kertas perjanjian yang telah mereka beri cap jempol.
Hal ini karena seluruh masyarakat suku anak dalam tidak bisa membaca, apalagi menulis.
Kertas perjanjian itulah yang menjadikan orang-orang terang (sebutan untuk orang kota) dengan leluasa bisa melakukan eksploitasi di tanah milik suku anak dalam.
Butet Manurung, akhirnya tergerak untuk membuat masyarakat suku anak dalam bisa membaca dan menulis agar tidak mudah dibohongi.
Bahkan Butet juga mengajarkan masyarakat suku anak dalam untuk menghitung.
Tentunya itu adalah hal yang mudah, karena masyarakat suku anak dalam menganggap pendidikan adalah tabu dan melanggar adat yang berlaku.
Dengan percaya diri dan kegigihan, Butet terus berusaha memberikan pendidikan untuk masyarakat anak rimba.
Baca Juga: Masjid Agung Banten, Bangunan Seni Arsitektur Hasil Akulturasi Budaya