Bagaimana Strategi Perang Jenderal Sudirman Ketika Melawan Belanda?

By Avisena Ashari, Kamis, 14 Mei 2020 | 07:51 WIB
Jenderal Sudirman bersama pasukan gerilya, tahun 1949. (Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun. 1956. )

Bobo.id – Kisah perjuangan Jenderal Sudirman tidak lepas dari jasanya memimpin prajurit Indonesia melawan Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda yang erat dengan perjuangan Jenderal Sudirman adalah perang gerilya yang terjadi sebagai respon Agresi Militer Belanda II.

Melalui perang itu, Jenderal Sudirman dikenal sebagai sosok yang pantang menyerah, bahkan dalam keadaan sakit sekalipun.

Ayo, cari tahu bagaimana strategi perang Jenderal Sudirman ketika melawan Belanda!

Perang Gerilya: Strategi Perang Jenderal Sudirman Ketika Melawan Belanda

Perang gerilya merupakan cara berperang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba.

Perang gerilya merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi sebagai respon atas Belanda yang melancarkan Agresi Militer kedua.

Saat itu, Belanda menyerang kota Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia dan menyekap pemimpin bangsa Indoensia dalam pengasingan.

Tokoh yang menjadi pemimpin perang gerilya ini adalah Jenderal Sudirman.

Baca Juga: Tugas dan Tujuan Pasukan PETA Mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia

Setelah melakukan perang gerilya selama berbulan-bulan, puncak perang gerilya itu adalah dilancarkannya Serangan Umum 1 Maret 1949.

Ketika itu, Jenderal Sudirman sedang sakit parah di kediamannya. Namun karena Belanda terus menyerang daratan dengan tembakan dari udara, Jenderal Sudirman ditemani beberapa orang termasuk dokter pribadinya, dokter Suwondo, meninggalkan kediamannya.

Ini adalah awal mula perang gerilya. Semua dokumen penting dibakar dan kemudian Jenderal Sudirman meninggalkan Yogyakarta menuju kadipaten dan dilanjutkan ke Kretek Bantul dan Imogiri.

Karena bergerilya, maka perjalanan itu harus melewati wilayah pedesaan.

Bergerilya dalam Kondisi Sakit Parah

Karena kondisi penyakit tuberkulosis (TBC) yang dialami Jenderal Sudirman semakin parah, saat bergerilya kondisinya semakin lemah dan beliau tidak bisa berjalan kaki.

Oleh sebab itu, Jenderal Sudirman ditandu oleh para prajuritnya.

Setelah dari Imogiri, perjalanan gerilya dilanjutkan ke Gunung Kidul menggunakan dokar. Lalu beliau melanjutkan perjalanan ke Wonogiri.

Perjalanan ini dilakukan dengan penuh strategi dan kehati-hatian, karena pihak Belanda memiliki intelijen yang membantu mengetahui keberadaaan Jenderal Sudirman.

Baca Juga: Perjanjian Renville Dibuat untuk Membagi Wilayah Kekuasaan Indonesia dan Belanda, tapi Justru Merugikan Indonesia, Apa Alasannya?

Dari Jawa Tengah, perjalanan gerilya berlanjut ke Jawa Timur, yaitu ke Ponorogo, Trenggalek, dan Kediri. Kemudian perjalanan gerilya itu dilanjutkan menuju lereng Gunung Wilis.

Kala itu, terjadi penggeledahan yang dilakukan Belanda, rombongan gerilyapun menuju Hutan Sedayu menuju Sawahan.

Dalam perjalanan gerilya, Jenderal Sudirman memakai nama samaran, yaitu Pakdhe Abdullah Lelana Putra.

Penggunaan nama samaran itu memudahkan Jenderal Sudirman mengatur strategi perjuangan gerilya, terutama kaitannya dengan puncak gerilya pada 1 Maret 1949.

Puncak Perang Gerilya

Ketika rombongan Jenderal Sudirman masih bergerilya, di Yogyakarta dilancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Serangan Umum 1 Maret 1949 ini membuktikan pada dunia akan kekuatan militer Indonesia.

Sementara itu, pasukan gerilya masih terus melanjutkan perjalanan menemukan tempat yang aman. Mereka akhirnya menetap cukup lama mulai April hingga Juli 1949 di Dukuh Saba, Desa Pakis, Nawangan, Pacitan.

Rumah Karso Sumito menjadi markas komando, di mana Jenderal Sudirman berosialisasi dengan masyarakat setempat.

Baca Juga: Apa Isi Perjanjian Linggarjati Antara Indonesia dan Belanda? Ketahui Latar Belakang, Dampak, Serta Tokohnya, yuk!

Menurut ahli sejarah, di tempat itulah Jenderal Sudirman bekerja sama dengan warga pedesaan. Jenderal Sudirman juga mengatakan bahwa beliau tanpa rakyat tidak akan bisa menumpas penjajah dan gerilya itu selalu bersendikan rakyat.

Kondisi di Yogyakarta pun sudah kembali kondusif pada Juni 1949, serta para pemimpin bangsa kembali dari pengasingan pada bulan Juli.

Panglima Jenderal Sudirman jadi satu-satunya tokoh yang belum tiba di Yogyakarta. Beliau tidak buru-buru masuk ke Yogyakarta untuk mengantisipasi Belanda yang mungkin melakukan langkah licik.

Sehingga beliau benar menunggu waktu yang dianggapnya aman untuk kembali ke sana.

Itulah strategi gerilya yang digunakan oleh Jenderal Sudirman saat melawan Belanda, teman-teman!

Baca Juga: Mengenal Sosok Raden Ajeng Kartini, Salah Satu Pahlawan Perempuan pada Masa Penjajahan Belanda

-----

Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dunia satwa, dan komik yang kocak, langsung saja berlangganan majalah Bobo, Mombi SD, NG Kids dan Album Donal Bebek. Caranya melalui: www.gridstore.id

Atau teman-teman bisa baca versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di ebooks.gramedia.com

Yuk, lihat video ini juga!