Suatu hari, Chao melamun di ruang tamu. Di meja tamu, tampak ada beberapa potong oleh-oleh camilan yang tadi dibawa teman-teman ibu Chao.
Masih tersisa satu buah peach, satu kue lapis, satu kue bulan, satu kue kacang merah, dan satu mantau.
Karena tamu Ibu sudah pulang, Chao ingin sekali mencicipi salah satu makanan itu. Tangannya sudah terulur.
Namun tiba-tiba, saudara keempat, kelima, keenam dan ketujuh berlari masuk ke ruangan itu. Mereka berebutan dan masing-masing mengambil satu camilan itu. Chao lagi-lagi tidak kebagian apa pun.
Saat mundur menghindar dari keenam saudaranya, Chao melihat ada sebuah jeruk di bawah meja tamu. Chao segera memungutnya.
Baca Juga: Pertempuran Ambarawa Dipimpin Jenderal Sudirman, Mengusir Pasukan Sekutu dengan Strategi Supit Urang
“Akhirnya aku kebagian juga,” gumam Chao senang. Namun, baru saja ia akan mengupas kulit jeruk, saudara kedelapannya muncul. Wajahnya tampak sedih dan hampir menangis.
“Aku tidak kebagian kue…”
Chao tidak tega melihat wajah sedih saudara kedelapannya. Maka, ia dengan berat hati memberikan jeruk itu padanya.
Tak lama kemudian, saudara-saudaranya itu berlari meninggalkannya sendirian lagi di ruang tamu itu. Chao menghembus napas agak kesal.
“Andai saja nasibku sepertiku Fu,” gumam Chao.
Ia memang selalu berharap ingin seperti Fu, teman bermainnya. Rumah Fu tak jauh dari rumah Chao. Fu mempunyai banyak sekali mainan, mantel bagus, sepatu, dan apa pun.
Ia juga tidak pernah berebut makanan dan kue karena ia tak punya saudara sama sekali. Fu adalah anak tunggal.