Hari demi hari pun berlalu. Chao berusaha sabar dengan nasibnya yang harus selalu mengalah.
Sampai suatu ketika, tibalah hari Festival Layangan. Di hari itu, semua laki-laki di kota Chao harus menerbangkan layang-layang untuk menghormati nenek moyang mereka.
Fu dan ayahnya berdiri di bukit dan menerbangkan dua layangan. Tak jauh dari mereka, Chao dan keluarganya juga berdiri menerbangkan layangan mereka masing-masing.
Chao melihat layang-layang keluarganya yang menari indah ke sana kemari ditiup angin. Layang-layang mereka tampak indah, bagai sekumpulan ikan warna-warni yang berenang di udara.
“Sembilan layang-layang,” gumam Chao bangga, setelah menghitung jumlah layangan milik keluarganya. Itu adalah layangan ayah Chao, layangan Chao, dan layangan ketujuh saudara Chao.
“Layangan kita lebih banyak dibanding keluarga lain di desa ini,” bisik Chao pada ayahnya.
Ayah Chao hanya tersenyum. Sementara, Chao menunduk melihat ketujuh adik-adiknya yang masih kecil.
Ia tersenyum pada adiknya satu persatu. Ia tersenyum, bagai nenek moyangnya yang tersenyum melihat mereka dari langit.
Dalam satu hari itu, Chao merasa saudaranya tidak terlalu banyak seperti yang ia pikirkan selama ini.
Cerita oleh: Dok. Majalah Bobo. Ilustrasi: Anin
#MendongenguntukCerdas
-----
Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dunia satwa, dan komik yang kocak, langsung saja berlangganan majalah Bobo, Mombi SD, NG Kids dan Album Donal Bebek. Caranya melalui: www.gridstore.id
Atau teman-teman bisa baca versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di ebooks.gramedia.com