"Sudah, sudah! Hentikan katakatamu, Anakku!" Ibu Jaka Wana tak kuat menahan sedihnya. Air matanya menetes membasahi pipinya.
"Cucuku, Jaka Wana. Memang benar cerita hewan-hewan itu. Tetapi lupakan saja semuanya itu. Kau sudah cukup bahagia tinggal di sini bersama Ibu dan kakekmu."
Namun Jaka Wana ingin bertemu ayahnya, Raja Goragangsa. Maka pada suatu senja bulan pumama, diam-diam ia meninggalkan hutan. Ia ditemani Wre, sahabatnya, seekor kera.
Sampailah Jaka Wana dan Wre di Kerajaan Goragangsa. Saat itu Raja Goragangsa sedang mengadakan sayembara. "Raja mengadakan sayembara apa?" tanya Jaka Wana kepada seseorang yang turut berjubel di alun-alun menonton sayembara.
Baca Juga: Mengenal Dongeng, Mulai dari Pengertian hingga Unsur Pembentuknya
"Sayembara memukul Gong Gora tiga kali. Gong raksasa yang terletak di atas menara itu! Sejak zaman kakek raja, belum pernah ada yang berhasil memukul gong itu sampai tiga kali. Pemukulnya saja sebesar batang pohon kelapa yang paling besar," kata penonton lainnya.
"Yang berhasil akan dijadikan senapati kerajaan," kata orang lainnya.
Mendengar itu, Jaka Wana menjadi tertarik. la mendaftarkan diri pada petugas kerajaan. Hampir saja ia tak diizinkan ikut, sebab ia masih anak-anak. Peserta dewasa saja banyakyang gagal.
Giliran Jaka Wana pun tiba. Ia mengayunkan pemukul besar itu ke Gong Gora. Gong itu pun berbunyi. Bergetar. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Riuh tepuk tangan menyambut keberhasilan Jaka Wana.