"Lo, Oni harus sekolah, Bu!" Ibu memberi alasan.
"Aku masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi saja," ujar Nenek, ringan.
Ibuku kelihatan hendak membantah. Wah, apa kata Ayah nanti? Aku tak berani komentar. Aku, sih, mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Dita. Soalnya, segalanya serba menyenangkan. Tidak ada aturan begini, begitu! Mana mungkin Ibu menolak permintaan nenekku yang sudah hampir delapan puluh tahun itu? Jadilah, kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Dita.
Ternyata, perpanjangan tinggal bukan cuma satu dua hari seperti permintaan Nenek semula. Sekarang ini sudah memasuki hari keempat!
Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih dinas di luar kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut. Tetapi aku tidak berani mengeluh pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu keletihan merawat Nenek. Hebatnya, Ibu tidak pernah mengeluh. Malah Ibu berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang cenderung bertingkah seperti kanak-kanak."
Oh, begitukah?
Perlahan juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan, aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik dan kakakku.
Tati berdoa juga sebelum makan. Tetapi Tati lebih suka makan di kamar tidur, atau di teras rumah, sendirian. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh makanan lezat...tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang. Begitupun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi kerinduanku pada teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduuu
Ah, ternyata Ibu tahu perasaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga di halaman depan rumah Tante Dita, Ibu mendekati.
“Tak usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.
"Oh?" aku menatap Ibu.
Baca Juga: 3 Tokoh Bertubuh Mungil dalam Dongeng, Ada yang Ukurannya Sebesar Ibu Jari! #MendongenguntukCerdas