Petani yang seharusnya bisa fokus menanam padi untuk kebutuhan mereka sendiri, menjadi terhambat karena ketentuan Cultuurstelsel tersebut.
2. Memberatkan Petani
Dengan ketentuan menyisihkan 20 persen tanah untuk ditanami komoditas ekspor tentu saja memberatkan petani.
Jika lahan persawahan milik petani sudah ditanami padi, maka mereka harus merelakan lahan tersebut dialihfungsikan.
Selain itu, tanaman tebu memiliki karakteristik membutuhkan air yang banyak, sehingga petani semakin kesulitan mencari irigasi.
3. Petani Dicurangi
Meski ketentuan awalnya, hanya sekitar 20 persen tanah yang diminta oleh Belanda untuk ditanami komoditas ekspor, masih terjadi korupsi dalam pelaksanaannya.
Petani dicurangi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga tanah yang diminta bisa melebihi seperlima, misalnya sekitar sepertiga dan setengah bagian.
Penyebab terjadinya penyelewengan adalah karena tingginya target yang ditetapkan oleh penguasa lokal dari bupati hingga pejabat di bawahnya.
4. Meningkatkan Kebutuhan Ternak
Pelaksanaan Cultuurstelsel ternyata juga berdampak pada kebutuhan petani untuk menghidupi hewan-hewan ternaknya.
Sebab, hewan ternak tidak hanya digunakan untuk membantu pekerjaan di ladang dan lahan pertanian, melainkan juga sebagai alat angkut tanaman ekspor.
Ini berarti hewan ternak bekerja lebih keras daripada tugas aslinya, sehingga petani harus menyediakan makanan yang lebih banyak.
Petani sudah mengeluarkan banyak biaya untuk mengelola lahan, namun harus meningkatkan biaya lagi untuk hewan ternak.
Baca Juga: Faktor yang Melatarbelakangi Belanda Menerapkan Sistem Tanam Paksa di Indonesia