Sudah lama Raden Sunubawa, pangeran Negeri Girimeda, jatuh hati pada Rara Kinasih, putri Negeri Paragiwa. Ia sering menghadiahi Rara Kinasih benda antik dari berbagai negara. Hobi mereka memang sama, yaitu mengoleksi benda antik.
Suatu ketika, terjadi gempa besar di Negeri Girimeda. Banyak rakyat yang menjadi korban. Raja Girimeda meminta Raden Sunubawa menemaninya meninjau lokasi gempa dan menjenguk rakyat yang menjadi korban bencana.
“Ah, Ayah! Buat apa aku datang ke sana? Aku tidak tahan melihat orang-orang terluka!” kilah Raden Sunubawa. Dia lebih suka tinggal di istana dan menulis surat untuk Rara Kinasih.
Keesokan harinya, Raden Sunubawa menerima surat berisi permintaan aneh dari Rara Kinasih. Ia meminta Raden Sunubawa mencarikannya benda antik dari pelosok desa korban gempa di Girimeda. Penduduk di desa-desa itu menjual sisa barangnya untuk membeli makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Sebetulnya Raden Sunubawa malas mengunjungi desa-desa korban gempa. Namun, demi Rara Kinasih, Raden Sunubawa berkeliling ke pelosok desa dengan kudanya.
Di Desa Setu, Raden Sunubawa membeli cermin berukir emas dari seorang saudagar tua. Cermin itu dijual untuk memperbaiki rumahnya yang rusak. Raden Sunubawa langsung mengirimkan cermin itu ke Negeri Paragiwa. Namun, cermin itu malah dikembalikan oleh Rara Kinasih. Bukan itu benda antik yang diinginkannya.
Raden Sunubawa kembali berkeliling ke desa lainnya. Di Desa Luru, dia membeli sebuah kotak perhiasan perak. Milik seorang gadis yang orang tuanya terluka parah. Gadis itu menjual sisa barangnya untuk mengobati luka orang tuanya.
Raden Sunubawa mengirimkan kotak itu pada Rara Kinasih. Namun, lagi-lagi, Rara Kinasih mengembalikannya.
Hingga akhirnya Raden Sunubawa berkelana makin jauh ke Desa Tilu. Di desa itu, seluruh rumah penduduk ambruk. Raden Sunubawa melihat seorang ibu dan ketiga anaknya menawarkan sebuah piring dari tanah liat.
“Tukar saja piring hamba dengan tiga bungkus makanan. Anak-anak hamba kelaparan. Selama ini kami cuma makan pucuk-pucuk daun muda dari hutan…” kata si ibu sambil mengiba.
“Tetapi apa keistimewaan piring itu?” tanya Raden Sunubawa heran.
Ibu itu mengusap piringnya sambil tersedu, “Piring ini satu-satunya barang hamba yang selamat dari gempa. Piring ini sangat berharga karena ini piring kesayangan suami hamba. Dia meninggal tertimpa runtuhan rumah.”